Tampaknya tak ada ritual agama yang lebih bergumul dengan Covid-19 daripada ritual misa/kebaktian dalam agama Katolik. Kenapa? Karena dalam Gereja Katolik, ikatannya tidak hanya tertuju pada tempat ibadat, tetapi juga pada hosti (roti gandum gepeng tipis) dan anggur yang diproses secara rohani dalam misa itu. Hambok imamnya pergi ke Vatikan dan berpakaian imam lengkap, kalau tidak ada hosti dan anggur itu ya gak ada misa. Sebaliknya, kalau hosti dan anggurnya ada tetapi gak ada imam yang memprosesnya, misa juga gak ada. Itu mengapa Gereja Katolik lebih bergumul dengan ritual misanya pada masa kopit ini: kesatuan dengan Kristus secara utuh tak bisa dialami melalui hosti yang diyakini sebagai Tubuh Kristus itu. Tentu ada jalan keluarnya dari sisi teologis, yaitu komuni (kesatuan, persekutuan) batin atau spiritual, dan itulah yang terjadi dalam misa streaming.
Meskipun demikian, mengapa orang Katolik tetap sulit dan lamban mengenali the things of God? Lebih gampang mengenali the things of human being: karena yang otomatis dipakai sebagai tolok ukur adalah indra. Meskipun Gereja Katolik mempertahankan ajaran transubstansiasi (perubahan substansi hosti-anggur jadi Tubuh dan Darah Kristus), perhatian orang-orangnya tetap pada hosti-anggurnya, bukan?
Apa simtomnya dan apa akibatnya?
Saya mulai dengan ungkapan umat begini: kalau tidak misa itu rasanya seperti ada yang kurang, seperti kalau biasa gosok gigi trus sekali tidak gosok gigi rasanya gimana gitu. Orang mengukur misa dengan parameter indra: penglihatan, perabaan, pencecapan. Akibatnya, misa streaming dianggap kurang utuh. Yang utuh ialah misa di gereja dan menyantap Tubuh dan Darah Kristus langsung lewat mulut seperti biasanya!
Saya imam Katolik, tak punya halangan untuk memimpin misa; tetapi to tell the truth, meskipun di rumah saya ada misa setiap hari, saya lebih sering mengikuti misa streaming. Sayangnya, saya tidak merasa bahwa misa streaming itu tidak utuh; bukan karena saya bisa mengambil Sakramen dari tabernakel di kapel (yang tak pernah saya lakukan), melainkan karena keutuhan misa tak saya ukur dari mata, kulit, dan lidah saya.
Teks bacaan hari ini jadi landasan saya. Dua murid yang hendak kembali ke Emmaus mencari kenyamanan dan keamanan hidup mereka, benar-benar tak mengenali Yesus yang bangkit. Mereka baru mengenalinya ketika Yesus mengulang kembali momen perjamuan terakhir: Yesus memecah-mecahkan roti dan membagikannya kepada mereka. Mak cling, mereka terhenyak, tetapi saat mata mereka mengenali Yesus yang bangkit itu, pada saat itu juga Yesus lenyap dari pandangan mata mereka. Ini paradoks.
Akan tetapi, keyakinan mereka itu sebetulnya tidak ujug-ujug mak jegagik datangnya. Dari ungkapan mereka jelas kelihatan bahwa selama dalam perjalanan, hati mereka berkobar-kobar ketika mendengarkan penjelasan Kitab Suci oleh Yesus yang semula mereka persepsikan sebagai orang asing itu. Artinya, kesatuan dengan Yesus itu sebetulnya sudah terjadi pada momen mereka mendapat pencerahan mengenai Kitab Suci. Akan tetapi, rupanya orang tak bisa begitu saja mengerti Kitab Suci sendiri tanpa bantuan pribadi yang hidupnya memang ada dalam kesatuan dengan Allah. Keyakinan mereka ditentukan oleh tindak pemecahan roti, tetapi pada momen itu, indra tak lagi jadi kunci. Mereka serta merta tergerak untuk berbagi.
Ini pula yang hendak saya bagikan: jangan ribet dengan penalaran indrawi. Meskipun saya yakin bahwa ritual tak tergantikan oleh teknologi; tetapi kalau teknologi bisa jadi medium untuk misa streaming, ya dihayati saja dengan sepenuh hati sebagai perjalanan kesatuan batin dengan Yang Ilahi. Dengan begitu, orang tak semata-mata berstatus human being, tetapi bisa mengembangkan hidupnya dengan being human. Lalu, bukankah bisa saja setelah kopit ini diakomodasi dua moda ritual, offline bersama online? Mengapa tidak?
Tuhan, mohon rahmat kepekaan hati dan budi untuk menangkap Sabda-Mu yang memampukan kami untuk being human juga dalam masa pandemi ini. Amin.
HARI MINGGU PASKA III A/2
26 April 2020
Kis 2,14.22-33
1Ptr 1,17-21
Luk 24,13-35
Minggu Paska III A/1 2017: Bumi Datar Ya Ampun
Minggu Paska III A/2 2014: Happiness, Inventing The Meaning *
Categories: Daily Reflection