Beberapa waktu lalu saya ceritakan bagaimana saya mendesak seorang bapak tua penarik gerobak sampah untuk mengambil beberapa nasi bungkus. Bapak itu keukeuh mengambil satu bungkus karena memang hanya sejumlah itu yang dibutuhkannya; barangkali memang beliau tak berkeluarga atau tahu bahwa anggota keluarganya sudah dapat makan.
Pada hari sesudahnya, saya menawarkan nasi bungkus kepada tukang becak, dan kali itu saya berhasil membujuknya untuk mengambil lebih dari satu. Rupanya di bangku becaknya ada anaknya. Ketika saya hendak beranjak pergi, dua orang mendekati saya dan meminta nasi. Saya mengambilkan dua bungkus, tetapi pada saat itu yang seorang ikut melongok ke dalam plastik hitam wadah nasi bungkus, dan tahu-tahu tangannya menarik plastik hitam itu (yang masih ada sekitar lima bungkus) sambil bersabda,”Wis dhak gawané kabèh waé ya Mas.” Batin saya, ini orang kelaparan apa preman ya?🤭
Memang, pada saat orang kelaparan, bisa terlihat bakat premannya: sangar, cemberut, grusa-grusu, tak sabaran, gampang marah, rakus, dan sejenisnya. Puasa dalam tradisi mana pun kiranya memakai kelaparan ini sebagai medium supaya orang beriman dapat mengadakan pemilihan dengan mata batinnya dan dengan demikian ia semakin maju dalam takwanya kepada Allah. Begitu sekurang-kurangnya yang saya tangkap dari Alquran 2:183. Takwa tentu bukan cuma perkara tahu mana yang baik dan buruk, melainkan juga perkara dorongan untuk menjalankan yang baik.
Tadi malam saya mengulang nonton film Shaolin (2011) dan syukurlah memori saya terbatas: bisa menikmatinya seolah-olah saya belum pernah menontonnya sama sekali. Di akhir film digambarkan nasib berbeda dari dua tokoh utamanya. Ho Jie dan Cao Man, kakak beradik ini sama-sama keji, tetapi Ho Jie akhirnya bertobat dan menjadi biksu Shaolin. Pertobatan tulus Ho Jie menghapuskan dendamnya dan bahkan dalam pertarungannya dengan Cao Man, ia masih berusaha menyelamatkan Cao Man. Pertarungan keduanya berakhir dengan matinya Ho Jie di pangkuan (patung) Buddha dan Cao Man kehilangan semua yang dikejarnya sejauh itu. Mati di pangkuan Buddha rupanya tak lebih menyiksa daripada bertahan hidup dalam gelojoh kekuasaan. Cao Man menangisi capaiannya yang sirna.
Covid-19 bisa jadi mood booster bagi orang beriman yang menjalani puasa: melihat mana yang lebih langgeng dan mana yang rentan kesirnaan. Ho Jie, tak hanya merelakan istrinya, tetapi juga merelakan hidupnya sendiri. Shaolin menunjukkannya dengan sirnanya kuil Shaolin sendiri, menyisakan hatinya, yang dibawa ke mana pun penganutnya pergi.
Petrus Kanisius yang diperingati Gereja Katolik hari ini merelakan kesukaannya mengunjungi para napi atau orang sakit. Ini tindakan baik tentunya. Akan tetapi, pada satu momen hidupnya, ia tak dapat lagi melakukannya karena tugas baru yang diterimanya: menulis! Tentu ia bergumul, lha wong semestinya bisa berbuat sesuatu, kok malah menulis. Kemampuan asketisnya membuat Petrus Kanisius menjadi pujangga handal. Itu karena ia berani kehilangan apa yang disukainya, bahkan meskipun itu adalah tindakan baik, demi AMDG itu. Menulis adalah berbuat sesuatu alias bekerja, begitu kata pemimpin saya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk semakin akrab dengan pilihan yang membawa kami pada kelanggengan. Amin.
SENIN PASKA III
PW S. Petrus Kanisius (SJ)
27 April 2020
Posting 2019: Puasa Miapa
Posting 2018: PartAi setaN
Posting 2017: Ngapain Percaya Tuhan?
Posting 2016: Plesetan Iman
Posting 2015: Perbuatan Tanpa Iman Is Dead
Posting 2014: Spirit’s Work, Wider and Deeper
Categories: Daily Reflection