Puasa Miapa

Saya kok sangat tidak yakin bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan ibadah puasa semata-mata soal mengendalikan makanan atau minuman supaya tidak masuk mulut, sehingga pengendalian itu bisa dilakukan secara sistematis dan terstruktur: menutup akses makanan dan minuman dari ruang publik. Saya sangat yakin beliau menghayati ibadah puasa justru karena fokusnya bukan pada “makanan yang akan dapat binasa”, melainkan “makanan yang bertahan sampai kepada hidup abadi”.

Anda tahu sendiri kalau orang berfokus pada makanan yang dapat binasa tadi. Orang bisa gontok-gontokan dengan kekerasan untuk berebut makan. Orang bisa jauh-jauh melaut sampai wilayah negeri tetangga dengan risiko kapalnya ditenggelamkan. Orang bisa ngamuk karena perolehan suara calon legislatifnya tidak sesuai prediksi. Padahal, kalau orang mau bersabar dan berfokus pada makanan yang kekal tadi, orang bisa menata supaya makanan yang bisa binasa tadi dikonsumsi secara merata. Kalau orang berfokus pada makanan yang kekal, ia tak perlu mengambil risiko kapalnya ditenggelamkan. Kalau orang berfokus pada makanan yang kekal, ia bisa jauh-jauh hari tanpa politik uang meraup suara karena kerja konkret yang mendapat perhatian dan kepercayaan warga muncul dengan sendirinya.

Kalau orang fokusnya makanan yang dapat binasa, kelaparan merajalela, tetapi jika fokusnya makanan yang kekal, kelaparan itu diam-diam malah menambah nikmatnya makanan yang bahkan dapat binasa tadi. Ini tidak susah dimengerti karena sebagian orang ketika terokupasi oleh pekerjaan, mereka bisa lupa waktu untuk makan atau kelaparan tak membuatnya jadi baper. Dengan demikian, jelaslah target orang yang beribadah puasa justru mengokupasi diri dengan kebajikan yang muncul dari bisikan ilahi dan menghindarkan diri dari makanan dan minuman hanyalah konsekuensi dari okupasi diri itu. Maka dari itu, tak ada gunanyalah orang yang berpuasa tetapi sebagian besar waktunya hanya dipakai untuk tidur dan tak memproduksi kebajikan.

Tapi begitulah, dunia nyata ini senantiasa menunjukkan hanya sebagian kecil saja orang yang berfokus pada makanan yang kekal. Alhasil, alih-alih memikirkan dan menata kebajikan sebagai tujuan ibadah puasa, orang ribet dengan aneka sarana demi terjauhkannya makanan dan minuman dari mulut. Dalam hal ini, orang beragama malah tidak mendapatkan berkat yang dimaksudkan oleh ibadah puasa, yang semestinya mengantar orang untuk mengalami Allah dalam hidup sehari-harinya.

Salib dan umat Kristen,
ujung ke ujung, telah kuuji.
Dia tak di salib.

Kupergi ke kuil Hindu, ke Pagoda kuno,
tiada tanda apa saja di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat kumelangkah,
dan ke Kandahar kumemandang.
Dia tak di dataran tinggi
tak pula di dataran rendah.
Kupergi puncak gunung Kaf yang menakjubkan,
yang ada cuma tempat tinggal burung Anqa.
Kutanya pula Bu Ali Sina,
tiada jawaban, sama saja…
Kupergi Ka’bah di Makkah,
Dia tak di sana.
Lalu kujenguk dalam hatiku sendiri.
Di situ kulihat diri-Nya.
Di situ,
tak di tempat lain.
(Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi)

Ya Allah, mohon rahmat kekuatan supaya pada bulan suci ini kami semakin terasah untuk menemukan makanan kekal-Mu yang tersedia dalam hati dan budi yang terarah pada-Mu pada rutinitas hidup kami yang serba biasa. Amin.


SENIN PASKA III
Awal Puasa Ramadan
6 Mei 2019

Kis 6,8-15
Yoh 6,22-29

Posting 2018: PartAi setaN
Posting 2017: Ngapain Percaya Tuhan?

Posting 2016:
 Plesetan Iman

Posting 2015: Perbuatan Tanpa Iman Is Dead

Posting 2014: Spirit’s Work, Wider and Deeper