Bersama Gereja Koptik dan Bizantium hari ini Gereja Katolik memestakan salah seorang penulis Injil: Markus. Ini adalah pengikut Guru dari Nazareth yang terduga melarikan diri dengan meloloskan kain penutup badannya pada saat gurunya ditangkap di Bukit Zaitun (Mrk 14,51-52). Cerita ini memang hanya ada dalam tulisan Markus. Itu juga mengapa dia terduga sebagai anak muda yang lari telanjang. Akan tetapi, tak perlulah diributkan siapa sesungguhnya anak muda yang lari telanjang itu. Saya tidak hendak belajar dari lari telanjangnya karena toh sudah katam melakukannya dulu sewaktu masih tinggal di kampung. Rasanya ringan, tanpa beban. Beda dengan anak muda yang diceritakan Markus ini. Tentu dia lari telanjang disertai ketakutan luar biasa.
Akan tetapi, rupanya ketakutan itu lenyap ketika gurunya sudah menuntaskan perkaranya di bumi ini sehingga dia berani menuliskan sesuatu mengenai hidup gurunya itu sebagai kesaksian. Dia mendapatkan preseden bahwa bahkan kalau orang mati secara hina sekalipun, ia tetap punya harapan untuk mengalami kebangkitan, untuk mengalami hidup bersama Allah. Harapan hidup bersama Allah itu tak dibangun setelah ajal menjemput, tetapi justru selama orang hidup di dunia fana ini. Harapan itu juga tidak ditunjukkan sebagai wacana belaka, tetapi lebih-lebih sebagai tindakan kesaksian.
Salah seorang senior saya, ketika masih tinggal di ibu kota pada abad lalu, mengajak yuniornya berbelanja. Ia sendiri yang memegang kemudi mobil. Ketika terkena lampu merah di sebuah persimpangan yang sangat padat, ia menghentikan mobil agak mepet ke mobil lain di sebelah kanan. Ia membuka kaca mobil dan menyapa penumpang mobil di sebelah kanan itu dan terjadi pembicaraan yang akrab. Yuniornya tidak merasa kenal dengan orang yang diajak ngobrol seniornya sehingga dia melihat lalu lalang kendaraan selagi menantikan lampu merah bertobat. Setelah lampu hijau, senior ini mengucapkan salam perpisahan dan melajukan mobil lurus, sementara mobil yang di kanan tadi belok ke kanan. Kaca jendela ditutup, dan yuniornya bertanya,”Siapa itu tadi, Mo?”
Senior saya balik bertanya,”Yang mana?”
“Lho yang Romo ajak bicara tadi itu.”
Dengan santainya jawaban keluar,”Saya juga tidak tahu itu siapa.”🤣🤣🤣
Anda bisa menyebut senior saya ini sableng, tetapi karena sama-sama sableng, saya menganggapnya wajar. Ini kewajaran yang dianggap aneh oleh banyak orang. Lha wong gak kenal kok SKSD.
Akan tetapi, bukankah justru dari hal-hal sederhana seperti itu orang bersaksi? Bukankah dalam hal-hal sederhana itu khotbah orang diamini?
Orang zaman now saya kira lebih mendengarkan kesaksian daripada khotbah yang diomongkan. To tell the truth, saya tidak suka mendengarkan khotbah (apalagi berkhotbah) karena isinya senantiasa baik-baik, betul semua, sering muluk-muluk, kadang spekulatif, tetapi tak memberi ruang pendengarnya untuk mencerna sendiri kabar gembiranya!
Yang dilakukan senior saya bukanlah kejahatan. Kenyataannya, bisa menghibur orang. Akan tetapi, poin saya ialah bahwa pewartaan kabar gembira itu tak pernah bisa dikungkung dalam kata-kata bijak. Saya teringat pada film Patch Adams. Dengan sapaan kecil nan tulus dan menggembirakan orang lain, ia berdakwah secara keras bahwa life is beautiful no matter what! Bukankah itu kabar gembira?
Tuhan, mohon keberanian untuk menghidupi Sabda-Mu yang menggembirakan. Amin.
PESTA ST. MARKUS
(Sabtu Paska II)
25 April 2020
Posting 2018: Aku Memang Salah
Posting 2017: Agama Uzur
Posting 2016: Belajar Bahasa Nyuk!
Posting 2015: Tugasmu ‘Gampang’
Categories: Daily Reflection