Audisi

Published by

on

Anda tentu pernah dengar istilah audisi, yang lambat laun akhirnya bukan lagi sekadar proses pendengaran, melainkan juga soal visi visual alias tontonan. Saya hendak menyinggung audisi yang dipaparkan dalam pesta Gereja Katolik hari ini; pesta transfigurasi, yang dalam tradisi Gereja Timur dirayakan sebagai pesta besar sejak abad ke-6 sebagai Pesta Metamorfose, kira-kira Anda tahulah maksudnya metamorfose apa ya. Di Gereja Barat, ini pesta kecil-kecil doang, jadi paling cuman ada snack ringan gitu, seperti kapas. Kalau beruntung, ada padinya juga.

Nah, di mana audisinya? Dalam teks bacaan kedua, Petrus sharing soal pengalaman pribadinya dengan Yesus. Dalam bacaan kedua, Matius membahasakan pengalaman Petrus dan sohib-sohibnya itu dengan narasi transfigurasi, yang tentulah bukan isapan jempol meskipun kejadian yang diceritakannya tak harus seperti itu. Poinnya ya audisi itu: inilah anak yang Kukasihi, kepadanyalah aku berkenan, dengarkanlah dia! Jelas, dengarkanlah dia. Itulah audisinya.

Gimana mendengarkan dia ya? Mau tak mau, suka tak suka, ya pakai kuping lahir-batin. Dua tokoh yang disebut dalam narasi transfigurasi itu adalah Musa dan Elia. Dalam memori saya, Musa itu membebaskan bangsa Israel dari penindasan di Mesir. Tentu, tak usah diperdebatkan, yang membebaskan Allah sendiri, tetapi yang kelihatan dan terdengar dengan kuping lahir-batin adalah Musa ini. Elia, mungkin dalam memori Anda tersimpan kisah spektakularnya ketika ia berkompetisi dengan nabi-nabi dewa Baal dan menang, daaaaaan…… habislah ratusan nabi dewa Baal itu. Tentu poinnya bukan perkara menghabisi nabi-nabi palsu penista agama suci, melainkan soal membebaskan umat beriman dari kepalsuan iman. Ini bukan soal rohani supranatural mistis gitu, ini soal semacam Elia menegur raja lalim dan ratunya yang sewenang-wenang, menindas bangsanya sendiri.

Kalau Yesus bincang-bincang dengan orang seperti Musa dan Elia, mosok iya sih omongannya perkara gosip murahan atau wacana hoaks politik kekuasaan? Ini mestilah wacana orang-orang yang karakternya membebaskan orang lain, membebaskan sebuah bangsa, bahkan. Yesus kiranya berada dalam level itu juga. Saya teringat sewaktu Yesus ini dengan penuh keberanian memasuki Bait Allah di Yerusalem, yang nota bene adalah pusat keagamaan Yahudi yang dikelola oleh para pemuka agama yang ada main juga dengan kolonial. Persoalannya bukan bahwa Yesus ini melarang praktik penukaran uang di pelataran Bait Allah, melainkan bahwa praktik penukaran uang itu jadi salah satu jalur pemuka agama dan kolonial saat itu mengeksploitasi bangsa yang sebagian besar hidup dalam kondisi pokoknya bisa survive.

Kalau nyeleneh sedikit, bisalah saya katakan Yesus ini kurang revolusioner. Anda ingat toh ungkapan kontroversialnya: jika pipi kirimu ditampar, berikanlah juga pipi kananmu.
Lah, kurang revolusioner gimana je, Rom? Susah loh itu!
Seharusnya nasihatnya begini: Sebelum pipi kirimu ditampar, tamparlah dulu pipi kirinya! Lebih gampang, kan?
Saya tahu, nasihat begini sangat mungkin dipraktikkan dalam dunia politik. Ya itu tadi, mainkan hoaks! Bikin keruh, pelintir data, dan seterusnya. Bukankah pertahanan terbaik adalah menyerang? Serbuuuuuuuu.

Persoalannya, nasihat revolusioner itu pun tetap perlu melihat kontennya: hanya jika tamparan itu seperti tamparan Musa terhadap Firaun, tamparan Elia terhadap Raja Ahab dan Izebel, tamparan Yesus terhadap aristokrat Yahudi antek-antek kekaisaran Romawi, tamparan itu pantas dan malah seharusnya dilakukan duluan oleh orang-orang yang mengaku beriman. Kalau tidak, itu hanyalah perkara politik kekuasaan.

Andaikanlah ada tiga golongan moral umat beriman. Pertama, moral negatif. Isinya, yang penting orang tidak melanggar aturan atau larangan: asal tidak membunuh, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak bersaksi dusta, tidak bikin hoaks, dan seterusnya. Yang tidak ada dalam kategori larangan, ya suka-sukalah. Kedua, moral nol. Poinnya, menjauhi larangan, tetapi gak ngapa-ngapain: membunuh tidak, tetapi juga tidak memberi kehidupan kepada sekeliling, tidak menyebar hoaks, tetapi juga tidak menyemaikan kebenaran; tidak mencuri, tapi juga tidak memberi apa yang dibutuhkan sekeliling; tidak minta-minta, tetapi juga tidak mencinta. Ketiga, moral positif. Isinya: inisiatif untuk memberi kehidupan, menyemai kebenaran, dan mewujudkan cinta. Tidak lagi reaktif, tetapi responsif secara kreatif membangun cara hidup baru yang lestari (kok kayak warung makan ya).

Saya kira, pesta Yesus menampakkan kemuliaan itu adalah perkara proaktivitas moral positif tadi: ini bukan demi kekuasaanku, melainkan kekuasaan Allah. Kerap kali persoalannya ialah bahwa kekuasaan Allah itu direduksi jadi kekuasaanku. Mau gak ambyar gimana hidup ini?


PESTA TRANSFIGURASI
(Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya)
6 Agustus 2023

Dan 7,9-10.13-14
2Ptr 1,16-19
Mat 17,1-9

Posting 2020: Orang Sukses
Posting 2017: Joyful Joss

Posting 2014: Narsis Gak Eaaa…

Previous Post
Next Post