Pertanyaan seperti yang saya sodorkan dalam posting Dunia Rebahan berlaku juga untuk teks bacaan hari ini. Apa jadinya iman dan keyakinan orang Kristen/Katolik jika cerita teks Kitab Suci ini hanyalah isapan kelingking: tidak ada kejadian bahwa Yesus, Musa, dan Elia ngobrol cantik di Gunung Tabor sebagaimana tak pernah terjadi Tetty Kadi, Nike Ardilla, dan Blink ngejam bareng di Moonbuck Coffee?
Jawaban yang saya harapkan juga sama: semakin yakin dan beriman.
Seorang tetangga jauh, ahli Kitab Suci, menegaskan bahwa kisah dalam teks bacaan hari ini adalah suatu refleksi teologis, bukan narasi historis. Sebagai suatu refleksi teologis, yang terpenting bukan lagi detail historisitas alias kesejarahan peristiwanya, melainkan nilai pengalamannya sendiri. Nilai pengalaman ini sewajarnya hadir dalam hidup orang beriman, terlepas dari afiliasi agama yang dipegangnya. Singkatnya, pengalaman transfigurasi bukan suatu peristiwa ‘di luar sana’, melainkan dinamika internal setiap orang beriman.
Mari lihat teksnya, yang diawali dengan keterangan waktu ‘enam hari kemudian’. Memangnya ada apa dengan enam hari sebelumnya? Itulah momen pengakuan Petrus akan atribut Mesias yang dilekatkan pada sosok Guru dari Nazareth. Akan tetapi, Petrus malah dihardik Guru dari Nazareth atas pengakuannya. Kenapa? Karena Petrus membawa konsep Mesias jadul, yang mengikuti hukum the survival of the fittest: Mesias ini mengalahkan penjajah, menaklukkan musuh, merendahkan bangsa lain, dan sejenisnya. Pandangan mesianik Petrus ini benar-benar sesat di mata Guru dari Nazareth. Mesias justru dia yang menyerahkan dirinya bagi pemuliaan kemanusiaan. Petrus benar-benar ditegur dan diminta untuk mengikuti Guru dari Nazareth ini.
Nah, ini salah satu momen Petrus mengikuti gurunya dan pada saat inilah pahamnya mengenai Mesias dikoreksi ketika ia mengalami transfigurasi gurunya. Bagaimana ia dan teman-temannya bisa mengalami hal itu? Teksnya mengatakan: mereka naik ke gunung yang tinggi dan di situ mereka sendiran saja. Ini adalah bahasa Kitab Suci untuk mengatakan bahwa orang beriman perlu detach dari pola pikir manusiawi, mengontemplasikan apa yang sungguh berkenan bagi Allah, dan tak dikacaukan oleh hiruk pikuk duniawi. Ini bukan soal harus tinggal di pucuk gunung, melainkan bahwa mereka perlu ambil waktu untuk setiap kali menilai mana yang sungguh bermakna dan mana kerecehan yang pantas diabaikan.
Prediksi depresi ekonomi yang bisa mengakibatkan resesi di kwartal akhir tahun ini bisa jadi meresahkan; dan pantaslah seorang presiden menegur bawahannya yang masih belum juga dapat meningkatkan serapan anggaran untuk pandemi ini. Begitulah paradoks yang mungkin terjadi ketika paham sesat Petrus tadi dipelihara sehingga orang tak tergerak untuk memberikan dirinya kepada pemuliaan kemanusiaan. Transfigurasi menegaskan bahwa autentisitas Mesias terletak pada pemberian diri tadi. Panggilan orang beriman tertuju pada pemberian diri itu.
Petrus tak segera memahaminya. Ia mengusulkan untuk bikin tenda, seakan ingin waktu berhenti dan bisa menikmati kebersamaan dengan Guru dan lain-lainnya di situ. Akan tetapi, jawabannya negatif. Harus turun gunung, kembali ke ranah yang receh, tetapi dengan cara berpikir, cara pandang, cara merasa, cara bertindak yang sudah diinspirasi oleh transfigurasi tadi. Orang beriman tak menunggu bagaimana pemerintah mengantisipasi resesi, tetapi mencari cara bersama untuk membuat hidup receh ini berlangsung secara fair. Kesuksesan orang tidak diukur dari capaiannya dalam mengungguli orang lain, melainkan seberapa jauh ia memberikan dirinya bagi kepentingan bersama.
Tuhan, mohon rahmat untuk terlibat dalam hidup bersama sehingga kemanusiaan sungguh dimuliakan. Amin.
PESTA TRANSFIGURASI
(Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya)
(Kamis Biasa XVIII A/2)
6 Agustus 2020
Dan 7,9-10.13-14
2Ptr 1,16-19
Mat 17,1-9
Posting 2017: Joyful Joss
Posting 2014: Narsis Gak Eaaa…
Categories: Daily Reflection