Dunia Rebahan

Ini pertanyaan untuk orang Kristen/Katolik (tapi bisa dimodifikasi untuk yang lain juga): apa efeknya bagi iman dan kepercayaan Anda jika jebulnya Yesus itu tidak memberi makan kepada lima ribu orang, tidak membuat Lazarus yang dikubur selama empat hari itu hidup kembali?
Jawaban yang saya harapkan dari pembaca blog ini: malah semakin beriman, Rom, semakin yakin bahwa iman tak bergantung pada dunia spektakuler di ‘luar sana’, tetapi pada tanggapan personal dari ‘dalam sini’ terhadap cinta Allah.
Romo ini gimana, wong menyangkal cerita Kitab Suci kok malah bikin orang semakin beriman!

Maksud saya bukan menyangkal cerita Kitab Suci sih, melainkan melihat kemungkinan bahwa cerita-cerita itu bisa jadi model bercerita penulisnya yang mencontoh apa yang dibuat pendahulu mereka, termasuk Yesus sendiri, yang gemar menyodorkan perumpamaan. Kalau orang bikin perumpamaan kan bisa jadi lebay atau ‘korup’ dikit-dikit gitu, bukan demi membohongi orang yang diberi cerita, melainkan supaya pesan ceritanya sampai.
Jadi, maksud Romo, cerita hari ini tentang Yesus memberi makan lima ribu orang itu cuma isapan kelingking?
Bukan isapan kelingking, melainkan isapan jempol.😁

Singkatnya, saya lebih srěg dengan karakter simbolik dari kisah ini. Jadi, abaikan saja label ‘mukjizat penggandaan roti’ pada kisah ini, yang dituliskan enam kali dalam seluruh Injil (Matius dan Markus masing-masing dua kali, dengan modifikasi detailnya). Saya tak tahu siapa yang pertama kali mengajarkannya sebagai mukjizat penggandaan roti (yang tak lain dari manifestasi iman berdasarkan dunia spektakuler di ‘luar sana’. Kisah ini pada prinsipnya cuma mengatakan bahwa Yesus meminta apa yang ada pada murid-murid diberikan kepadanya, mengucap berkat, dan mengembalikannya kepada mereka untuk dibagikan kepada orang banyak. Hebohnya, yang dibagikan itu bukan cuma mencukupi, melainkan juga berlimpah-limpah.

Karakter simbolik kisah ini hendak menyodorkan kepada pembaca suatu dunia baru yang diperkenalkan Guru dari Nazareth. Dunia baru itu apa? Ya yang diistilahkan dengan Kerajaan Allah atau ukhuwwah islamiyyah itu, dunia yang memberi kebutuhan penghuninya terpenuhi secara berlimpah ruah. Nah, terkesan utopis, kan? Betul. Bacaan kemarin menunjukkan dunia lama yang dipresentasikan Matius: dominasi kekuasaan, yang memuat paradoks. Pesta dansa-dansi yang berujung pada kepala Yohanes Pembaptis di atas nampan. Semua umat beriman dipanggil untuk mentransformasi dunia lama seperti itu, membuat dunia baru jadi konkret: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, katanya.

Mari lihat simbol-simbol dalam narasinya. Saya kira Yesus tidak menyingkir ke tempat sunyi, meskipun bisa jadi tempatnya memang sepi, tetapi ke ἔρημον (eremon, Yunani), bisa diterjemahkan sebagai secluded, tetapi juga desert, wilderness. Nanti akan kelihatan bahwa kisah ini sulit dicerna sebagai reportase peristiwa sejarah. Bagaimana Yesus itu menyingkir ke padang yang sepi itu? Ia menyeberangi ‘laut’. Ini sangat simbolik bagi bangsa Israel: meninggalkan dunia perbudakan (karena dominasi kekuasaan tadi) menuju dunia orang-orang merdeka di padang gurun. 

Simbolisasi itu diperkuat dengan pleonasme bahwa orang banyak mengikuti Yesus dengan berjalan kaki. Maafkan terjemahan Indonesianya, yang mengganti jalan kaki dengan ambil jalan darat [padahal ambil jalan darat itu bisa ngesot juga]. Jalan kaki merujuk pada kisah dalam Kitab Keluaran 12,37. Tambah lagi, setelah itu, tidak dikatakan bahwa Yesus mendarat (diterjemahkannya begitu, hiksss), tetapi keluar alias měntas dari ‘laut’. Ini benar-benar deskripsi eksodus alias hijrahnya bangsa Israel dari tanah perbudakan. Apa yang dilihat Yesus di padang itu? Kemanusiaan (lima ribu orang, belum termasuk perempuan dan anak-anak, ini seluruh bangsa Israel), yang cedera karena dominasi kekuasaan tadi, dan itu tak sesuai dengan apa yang diinginkan Allah. Maka, kata compassionate love muncul di situ ketika Yesus melihat kenyataan kemanusiaan seperti itu. Ini berlaku juga untuk kekinian.

Langsung lompat ke dialog Yesus dengan murid-muridnya, yang merepresentasikan logika dunia baru dan dunia lama. Murid-murid usul supaya orang banyak itu disuruh pergi ke desa terdekat dan membeli makanan. Ini usulan yang sangat konkret, bukan? Itulah logika dunia lama para murid: dunia jual beli, mekanisme pasar. Bayangkan, jika semua pergi membeli makanan sendiri-sendiri: siapa cepat dia dapat, yang sakit semakin sulit, yang beruang banyak dapat banyak! Di balik itu, ada asumi bahwa sumber daya ini tak mencukupi untuk semua orang. Maka, kata para murid,”Mana cukup lima roti dua ikan?”

Dunia yang ditawarkan Yesus tidak mengikuti logika para muridnya. Asumsinya jelas: dunia ini punya kelimpahan bagi kemanusiaan dan itu bisa ditata sejauh setiap orang terlibat dalam distribusi sumber daya bagi kemanusiaan, dan bukan memikirkan kebutuhan sendiri. Ini hanya dimungkinkan jika orang merdeka. Disimbolkan dengan permintaan supaya semua orang rebahan miring (bukan duduk, tetapi itulah terjemahannya😥) ala makan perjamuan. Hanya orang-orang merdeka yang bisa hidup dalam dunia baru yang disodorkan Guru dari Nazareth.

Mulai kemarin saya mengikuti kegiatan bertajuk Lari Virtual Berbagi Kebaikan. Anda berdonasi, kami berlari. Ini kegiatan untuk mencarikan dana bagi anak-anak prasejahtera di Jakarta. Saya tidak bisa berdonasi karena hidup saya sebagian juga dari donasi. Yang bisa saya buat hanya berlari (sembari berdoa). Jadi, kalau Anda tergerak untuk berdonasi, coba tilik tautan ini, lalu klik menu donasi di bawah, bisa pilih tim yang Anda paksa untuk berlari.😁 Saya pastikan: Anda berdonasi atau tidak, saya akan tetap jogging sih.😂

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hidup kami tak diperbudak oleh mekanisme pasar yang menciptakan kesenjangan dalam hidup bersama. Amin.


MINGGU BIASA XVIII A/2
2 Agustus 2020

Yes 55,1-3
Rm 8,35.37-39
Mat 14,13-21

Posting 2014: Makan Apa, di Mana, Siapa?