Saya tidak tahu mengapa Gereja Katolik mengambil teks Injil Markus untuk memperingati wafatnya Yohanes Pembaptis (tunggu tanggal mainnya, 29 Agustus). Teks bacaan hari ini diambil dari Injil Matius yang isinya kurang lebih juga menarasikan kematian Yohanes Pembaptis. Dalam kedua teks itu digambarkan kematian Yohanes Pembaptis sebagai sintesis dari kontradiksi yang hidup dalam hati Anda dan saya, yang direpresentasikan sebagai Herodes dalam ceritanya. Lebih kentara lagi dalam teks Markus bagaimana Herodes mengalami paradoks: ia senang mendengar kuliah dari Yohanes Pembaptis, tapi hatinya terombang-ambing. Gimana gak terombang-ambing, wong Herodes ini memang menghidupi cinta terlarang.😂
Akan tetapi, begitulah kisahnya: Herodes mengakhiri kegalauannya dengan menghabisi nyawa Yohanes Pembaptis, yang sebetulnya ia ketahui menyuarakan kebenaran. Rupanya, kebenaran memang bukan jaminan bahwa halnya bisa diterima semua orang. Negosiasi diusahakan di sana sini supaya kebenaran itu tinggal dalam ideologi. Apa daya, sifat kompromis Herodes dengan Herodias dan Salome bermuara ke arah itu. Tahu mana yang benar, tapi pilihannya ke arah yang lain. Dengan masker mereka, muka lebih berharga daripada kebenaran dan karena itu Herodes lebih suka kehilangan kebenaran itu daripada kehilangan muka. Yohanes Pembaptis tamat.
Saya teringat seorang sahabat yang sedang mengerjakan proyeknya berkenaan dengan Arbaeen Walk, suatu ziarah jalan kaki yang diselenggarakan setiap tahun di Karbala, Irak, untuk memperingati mati syahidnya cucu Nabi Muhammad yang bernama Hussein bin Ali. Ini adalah kegiatan keagamaan yang diikuti jutaan umat pada hari Idul Adha. Kematian Hussein bin Ali sendiri konon terjadi ketika ia melawan kelompok Yazid bin Muawiyah, yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang-orang Hussein bin Ali. Detailnya saya tidak tahu. Kalau Anda butuh tahu bisa saya tanyakan ke sahabat saya.
Saya cuma berkepentingan untuk menggarisbawahi bahwa dinamika batin yang dialami Herodes tak hanya eksklusif miliknya, tetapi hadir dalam diri setiap manusia sepanjang segala abad. Yohanes Pembaptis dan Hussein bin Ali juga mengalami dinamika batin yang sama, tetapi mereka memilih menyuarakan kebenaran dengan segala risikonya.
Lah, dari mana Romo tahu kalau Herodes dan Yazid bin Muawiyah tidak menyuarakan kebenaran? Bisa jadi itu kan cuma soal perspektif seperti yang Romo sendiri bilang: yang menurut A benar, menurut B salah, dan sebaliknya.
Patokan saya sederhana sekali: kesaksian hidup yang digambarkan dalam teks. Kebenaran orang yang hobi mabuk dan gaya hidup lain yang tak sejalan dengan perintah dasar tentu tak bisa disejajarkan dengan kebenaran yang dituju mereka yang gaya hidupnya mengikuti ten commandments dong!
Konon, memang gaya hidup Yazid bin Muawiyah tidak disetujui oleh tokoh-tokoh Islam pada masanya. Kalau gaya hidup seperti ini mengandalkan kekuasaan dan berujung pada kematian sosok lain yang gaya hidupnya lebih berterima, das ist ja klar. Mirip dengan gaya Herodes: kebenaran harus dibungkam!
Akan tetapi, fenomena Arbaeen Walk justru menguak yang sebaliknya. Kebenaran tak pernah bisa dibungkam. Orang yang menyuarakannya bisa dibungkam, dihabisi, kebenarannya tidak. Kenapa? Karena Kebenaran terus mewahyukan diri lewat apa dan siapa saja yang mengembangkan kultur kehidupan.
Tuhan, mohon rahmat untuk merebakkan kultur kehidupan-Mu. Amin.
SABTU BIASA XVII A/2
1 Agustus 2020
Sabtu Biasa XVII B/2 2018: Kutukan Di
Sabtu Biasa XVII C/2 2016: Mati Lagi, Mati Lagi
Sabtu Biasa XVII A/2 2014: Siapa Yang Kamu Sebut Nabi?
Categories: Daily Reflection