Hari ini Gereja Katolik memestakan Ignasius Loyola, pendiri tarekat religius, tempat asal kerohanian yang dihidupi Paus Fransiskus. Anda tahu, pilihan nama Fransiskus yang diambil Kardinal Bergoglio sebelum jadi paus itu asalnya dari tarekat lain, yang erat terkait dengan Assisi. Yang ini tak perlu dipikir susah. Saya cuma mau mengatakan bahwa tradisi kerohanian itu dibangun bukan untuk mengungkung penghayatnya, melainkan untuk memberi pedoman, fokus, orientasi pada kharisma yang ditularkan pendirinya. Akan tetapi, setiap penghayat bisa juga menimba dari kharisma yang lain dalam upayanya menghayati kharisma tarekatnya sendiri.
Relasi antaragama idealnya seperti relasi antartarekat religius itu. Apa daya, paham Allah rupanya memang lebih rentan memecah belah karena ranahnya lebih dekat dengan ideologi. Kalau agama jadi ideologis, agama lain pun dipandang sebagai suatu ideologi, lalu relasinya bagaikan kompetisi pasif-agresif (di luarnya tampak saling hormat, senyam-senyum baik-baik aja, tapi di dalamnya “titènono” alias “liat aja ntar“, menganggap yang lain sesat). Tarekat religius tidak membangun hidupnya atas dasar ideologi, melainkan atas dasar kharisma, yang dipercaya sebagai pemberian atau karunia ilahi, yang bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Kharisma ini dihidupi, bukan diteorikan sehingga jadi ideologis. Tak mengherankan, Paus Fransikus yang berafiliasi pada tarekat Serikat Yesus itu tanpa kesulitan menghayati kemiskinan sebagaimana diteladankan Fransiskus Assisi, yang menginisiasi tarekat Fransiskan.
Teks bacaan hari ini menyajikan keterkungkungan primordial orang-orang kampung asal Guru dari Nazareth. Pengenalan mereka terhadap Guru dari Nazareth itu pun terbatas pada masa lalu dengan aneka atributnya: tukang kayu, bapak simboknya Yusuf-Maria, saudara-saudarinya ya seperti itulah yang mereka lihat sehari-hari. Mereka tahu aneka warna tentang Guru dari Nazareth sejauh terhubung dengan dunia penampilan yang bisa ditangkap dengan indra, tetapi tak pernah beranjak dari sana.
Salah satu kharisma yang ditunjukkan Ignasius Loyola ialah ketekunannya untuk berangkat dari dunia penampilan indra menuju pengenalan mendalam terhadap sosok Guru dari Nazareth. Dari Ignasius Loyola inilah saya belajar mengenali Allah dari pengalaman yang sangat indrawi: selalu mulai dari perasaan dan dari sana dipilah-pilah mana yang mendorong orang menuju kesejatian hidup dan mana yang tidak. Pembedaan roh yang dicontohkan Ignasius ini tidak berangkat dari ideologi mengenai Allah, tetapi dari kenyataan konkret sehari-hari yang ada dalam diri orang yang bersangkutan.
Hari Raya Idul Adha kiranya punya konvergensi dengan kharisma yang ditularkan Ignasius Loyola itu dalam orientasi ketakwaan orang beriman. Semua hiruk pikuk hidup orang senantiasa perlu dikembalikan pada dinamika internal dirinya sedemikian rupa sehingga orang tahu apakah pilihan-pilihannya menunjukkan kepasrahan dan ketaatan kepada Allah atau terarah pada aktualisasi dirinya semata. Ini sama sekali bukan perkara mudah, senantiasa butuh pemurnian, justru karena aktualisasi diri bisa jadi wujud ketaatan kepada Allah tadi.
Pada zaman now, pemurnian itu tidak ditempuh dengan mengunci diri dalam eksklusivisme, tetapi justru dengan membuka diri pada kharisma lain: belajar dari tradisi lain, agama lain, nabi lain, dan seterusnya. Ini bukan soal ikut-ikutan, melainkan soal mengikuti gerak roh yang hidup dalam diri setiap pribadi beriman.
Tuhan, ajarilah kami mengenali-Mu dalam dinamika batin kami. Amin.
JUMAT BIASA XVII A/2
Pw. S. Ignasius Loyola
Hari Raya Idul Adha
31 Juli 2020
Jumat Biasa XVII B/2 2018: Mulai dari Kegagalan
Jumat Biasa XVII A/2 2014: Afirmasi via Negasi
Categories: Daily Reflection
Romo
Selamat merayakan pesta nama St. Ignatius Loyola
Mohon doakan kami agar dalam peziarahan hidup di dunia ini selalu mempunyai kesadaran utk berdiskresi menemukan kehendakNYA dalam menghadapi kompleksitas hidup yg konkret ini..
Aminnnn🙏
LikeLike
Terima kasih kak HPI; kalo perkara doa ya saling dong… kan sama2 menghadapi kompleksitas hidup konkret 🤭
Salam
LikeLike