Kami selesai menonton serial Heaven Sword and Dragon Slaying Sabre alias Pedang Langit dan Golok Naga pada akhir pekan lalu. Walaupun di episode-episode akhir terasa betul ini film romantis, salah satu yang mengesankan dari kisah ini ialah paradigma berpikir yang mengenyahkan perangkap kategori hitam-putih. Memang sejak awal diperkenalkan adanya sekte baik dan sekte jahat, tetapi sampai akhir film disajikan dinamika bagaimana dalam kategori sekte jahat ada yang baik, dan dalam kategori sekte baik ada yang jahat. Dengan begitu, kategori hitam-putih itu adalah atribut yang diberikan seturut perspektif pemberinya, dan atribut itu tak menyentuh totalitas hidup orang. Tidak ada orang yang secara definitif seratus persen jahat atau seratus persen baik. Senantiasa ada potensi baginya untuk bergerak dari yang jahat ke baik dan sebaliknya.
Demikian pulalah yang disajikan dalam teks bacaan hari ini. Perumpamaan yang diberikan Guru dari Nazareth ini bisa ditafsirkan seturut perspektif pembaca yang gemar dengan atribut baik-buruk secara hitam-putih. Konteks perumpamaan yang disodorkan Sang Guru kepada para murid tentu saja berkaitan dengan tugas besar mereka untuk menjadi penjala manusia, dan kemudian bisa jadi manusia ini diumpamakan sebagai ikan yang ditangkap dalam perumpamaan ini: ada ikan yang baik dan ikan yang jelek, dan, dengan demikian, ada orang baik dan orang jahat. Yang baik bakal disendirikan, dan yang jahat dibuang.
Tak sesederhana itu, wahai kaum dodol [kayak lu gak dodol aje, Rom😂]!
Perumpamaan ini tidak bicara soal ikan yang baik dan yang jelek, tetapi soal jala yang ditarik keluar dari laut atau danau. Dari bahasa aslinya tidak disebutkan bahwa yang dipisahkan itu ikan yang baik dari ikan yang jelek, melainkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Maksudnya, dalam pukat yang ditarik dari laut atau danau itu pada kenyataannya ada hal-hal yang baik dan ada hal-hal yang korup. Kalau mau maksa bahwa manusia diumpamakan sebagai ikan, ya bukan totalitas manusianya yang hendak dibicarakan, melainkan soal manusia yang ditarik keluar dari dunia lamanya ‘di laut’ dan terdapatlah dalam dirinya hal-hal yang baik dan hal-hal yang korup. Artinya, bahkan kalau jala itu dimaknai sebagai Gereja, sebagai agama, dalam jala itu tetaplah hidup hal-hal yang baik dan yang korup.
Belakangan ini media santer memberitakan skandal dalam Gereja Katolik, dan itu meyakinkan saya pada insight bacaan hari ini: dalam kenyataannya hal-hal dari kultur kematian (korupsi, eksploitasi, manipulasi, kekerasan, dll) ada berdampingan dengan hal-hal dari kultur kehidupan. Kenapa? Karena jagad cilik manusia ya memang begitu. Dalam diri setiap orang ada gandum dan ilalang yang tumbuh bersama. Maka dari itu, bisa jadi penulis teks bacaan ini berpesan kepada komunitas religius yang disasarnya: meskipun Anda sudah hijrah dari dunia lama, waspadalah bahwa potensi korup itu tetap tinggal dalam diri Anda. Jadi, tak ada ceritanya mentang-mentang sudah Kristen, sudah Islam, sudah Hindu, sudah Buddha, sudah beragama, njuk potensi korup itu sirna. Itu cuma mbèl gèdhès.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengenali potensi baik yang perlu kami tumbuhkan untuk senantiasa hidup bersama-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XVII A/2
30 Juli 2020
Kamis Biasa XVII B/2 2018: Barengan Dong
Kamis Biasa XVII C/2 2016: Allah Kekinian
Kamis Biasa XVII A/2 2014: Layu sebelum Berkembang?
Categories: Daily Reflection