Historia Docet

Kalau Allah memang sungguh-sungguh eksis, mengapa Dia tak datang untuk mengatasi problem berat yang dihadapi orang yang percaya kepada-Nya? Mengapa Dia membiarkan persoalan semakin ribet penyelesaiannya? Ini bukan Allah idaman manusia. Betul, dan pola pikir seperti itu bisa terserak seiring dengan merebaknya pandemi.

Kemarin seorang tetangga kamar yang sudah jadi tetangga provinsi melontarkan pertanyaan mengenai terjemahan bahasa Latin untuk ungkapan “pengalaman [yang direfleksikan!] adalah guru terbaik”. Muncul jawaban: historia docet (sejarah memberi pelajaran) dan historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan). Anda bisa merujuk kalimat lengkapnya dari Cicero pada tautan ini, dan kiranya begitulah sosok Marta, yang dipestakan Gereja Katolik hari ini, menghidupi refleksi Cicero itu.

Marta ingat bagaimana dalam sejarah Israel, Nabi Elia menghidupkan kembali anak tunggal dari seorang janda di Sarfat (1Raj 17,17-24), dan ingatan itu memberinya keyakinan bahwa Guru dari Nazareth dapat melakukan hal yang sama. Padahal, kasusnya ya tidak persis sama sih. Soalnya, anak janda Sarfat itu jatuh sakit sampai tak lagi bernafas. Apakah itu memang kematian definitif atau cuma disfungsi biologis, God knows. Sedangkan mengenai Lazarus yang disinggung dalam bacaan hari ini, kematiannya digambarkan sebagai kematian definitif. Marta menginginkan Lazarus bisa seperti anak janda di Sarfat itu.

Begitulah konsep Marta ketika Guru dari Nazareth menanggapi permintaannya dengan menegaskan bahwa Lazarus akan bangkit. Kebangkitan seperti itu akan terjadi pada akhir zaman, ketika semua orang yang berkenan kepada Allah kembali hidup seperti sedia kala, sebagaimana terjadi pada anak perempuan janda di Sarfat tadi. Akan tetapi, Marta tidak belajar sesuatu dari sejarah yang diingatnya itu karena dia hanya berpatokan pada masa lalu tanpa melihat kemungkinan baru. Coba saja, kalau kebangkitan itu seperti yang dikonsepkan Marta, anak janda di Sarfat tadi melanjutkan pekerjaannya sehari-hari membantu ibunya. Lha kalau orang yang banyak hutang njuk mati lalu bangkit, hutangnya bisa-bisa semakin banyak, gitu kan? Ngapain bangkit kalau cuma untuk melanjutkan problem lama?

Ada perbedaan paham kebangkitan antara Marta dan Guru dari Nazareth. Di balik itu, ada perbedaan paham Allah juga. Bagi Marta, Allah itu punya kuasa untuk mengintervensi hidup manusia sehingga bahkan disfungsi biologis pun bisa dibetulkan. Di kepala Marta, hidup itu ya seperti yang dialaminya sejauh itu: hidup bersama saudara-saudarinya dengan aneka tetek bengek persoalannya demi pemenuhan aneka kebutuhan biologis. Itulah hidup, tak ada yang lain.

Bagi Guru dari Nazareth, kehidupan tidak terkungkung di pusaran kebutuhan biologis. Maka dari itu, juga kalau Allah eksis, jika Allah datang di dunia ini, Dia tidak terjerembab aneka persoalan di seputaran kebutuhan biologis. Ini tidak mengatakan bahwa kebutuhan biologis itu tak bermakna. Sebaliknya, kebutuhan biologis itu bermakna sejauh diletakkan dalam konteks kehidupan seperti dipersaksikan Guru dari Nazareth. Ia datang bukan untuk mengintervensi problem biologis manusia sehingga yang kontinjen, yang sementara ini, dikekalkan, melainkan supaya manusia bisa menggumuli yang berubah-ubah ini dengan modal koneksinya dengan Yang Kekal.

Coba deh, apatah yang mau dipertahankan dari hidup yang sementara ini? Mengapa orang mesti memaksa Allah untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dibikinnya sendiri?
Lah, pandemi covid-19 ini bukan bikinan manusia, Rom.
Yakin bukan bikinan manusia? Yang suruh orang bikin pabrik, pesawat, nuklir, senjata, internet, migrasi ke sana kemari itu bukan manusiakah? Saya tak ingin berdebat, tetapi satu keyakinan yang ingin saya tegaskan: kalau Allah eksis, Ia tidak menghidupkan mayat, Ia memberi nyawa kepada mereka yang hidup supaya tak terkungkung oleh apa saja yang sifatnya sementara, seindah, sebagus, sebaik apa pun. Itulah yang saya pelajari dari sejarah, yang mungkin tak menarik kebanyakan orang beragama.

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk mengandalkan Engkau dalam jerih payah menghadapi aneka kerapuhan hidup kami. Amin.


PESTA ST. MARTA
(Rabu Biasa XVII A/2)
29 Juli 2020

Yer 14,17-22
Yoh 11,19-27

Posting 2019: Hakuna Matata
Posting 2017: Begins with A Smile
Posting 2016: Sok Sibuk Lu
Posting 2015: MOS nan Tak Berguna
Posting 2014: Rempong versus Bengong 

2 replies

  1. saya coba memaknai tulisan ini, rm. sebnrnya saya ragu2 mengatakan (menanyakan) apakah rupanya ilalang dan gandum adalah tidak lain perumpamaan dari hati manusia sendiri? bgm setiap hari mns harus menata hati dan pikiran sehingga tetap pada fokus ajaran utama Yesus Kristus, Guru Nazaret yang telah mengalami Paskah bagi umat kristiani, cinta kasih. mns yg pada dasarnya sering terkondisikan lingkungannya, tidak bisa memilih atau lari dari situasinya. namun dikatakan dia telah mengalami ‘rahmat’ ketika mampu bangkit dari keterpurukan dan luka duka sehari2 tanpa menyalahkan siapapun #mengalami paskah#. dan sejarah tidak membuktikan hanya mengantarkan #memberi pengantar# namun tidak memberikan definisi, krn manusia bebas berpersepsi dan berekspresi sesuai dengan pengalaman iman dan rahmatnya

    Like