Orang yang pikirannya dipenuhi wacana filosofis, biasanya tidak lagi memikirkan kerepotan dalam mengurus perut (kecuali kalau perut diartikan sebagai kegemukan badan yang ingin dilawannya). Singkatnya, hanya orang yang secara ekonomis relatif mapanlah yang bisa berfilsafat. Ini tentu sudah dipahami baik-baik oleh Maslow: orang yang masih berjuang untuk kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, tentu susah untuk masuk dalam refleksi filosofis, apalagi yang bersifat spiritual-transendental (halah…opo maneh kuwi).
Bagi kelompok orang seperti itu, refleksi filsafat-teologi-spiritual tidak jauh berbeda daripada bengong! Orang yang bengong begini tidak rempong dengan bagaimana ia bisa makan, apalagi pas lebaran dan upik abu pulang kampung! [Refleksi ini memang dibuat setelah aneka kerepotan dapur menyita waktu persis pada hari peringatan wajib St. Marta, yang dikenal sebagai sosok yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi. Makanya ngetik refleksinya juga terlambat, haha… excuse hari lebaran tanpa karyawan!]
Pada peringatan St. Marta memang ada dua pilihan bacaan Injil: Luk 10,38-42 (Maria dan Marta) dan Yoh 11,19-27 (Maria, Marta, Lazarus). Dari Injil Lukas biasanya dipertentangkan antara urusan tetek bengek yang memang penting dan urusan mendengarkan Sabda. Yesus menegaskan bahwa Maria mengambil bagian yang lebih baik, yaitu mendengarkan Sabda, tetapi tidak hendak mempertentangkannya. Lah, kalau hanya ada pilihan jadi upik abu dengan segudang kerepotan dan mendengarkan kotbah, trus bagaimana? Kan kudu memilih!
Ya ya ya, tetapi ‘mendengarkan Sabda’ tak perlu diletakkan dalam tahapan Maslow sebagai tahap kebutuhan terakhir dan dipertentangkan dengan kebutuhan akan urusan perut dan rasa aman! Kalau begitu saja sih, gak bakal ada kesulitan bagi generasi mutakhir yang sudah sangat multitasking! Mereka bisa nonton radio baru sekaligus mendengarkan televisi dan chatting dengan maminya yang sedang sibuk bekerja di dapur! Yesus tidak menilai sesederhana itu ketika ia menegur Marta.
Kisah Marta yang lain barangkali bisa memantik inspirasi: sepeninggal Lazarus, ia memang sudah punya kepercayaan bahwa ada kebangkitan orang mati kelak pada akhir zaman. Perjumpaannya dengan Yesus lambat laun mengubah kepercayaannya itu: Yesus adalah kehidupan itu sendiri, tak perlu menanti sampai kiamat! Dengan begitu, ‘mendengarkan Sabda’ berarti soal berjumpa dengan kehidupan dan memberi hidup pada setiap aktivitas: apapun dan bagaimanapun makanannya, berilah hidup pada setiap tindakan, kesibukan; berilah nyawa, greget, semangat, dan sejenisnya! Just do what you do! Tak perlu pusing, iri, jengkel, marah terhadap apa yang orang lain lakukan (karena tak sesuai dengan yang kita pikirkan). Orang beriman tak perlu disetir oleh aneka kecemasan yang muncul dari kerempongan hidup tetapi juga tidak menghabiskan waktu untuk bengong menikmati ingatan kosong.
PESTA WAJIB ST. MARTA
(Selasa Biasa XVII A/2)
29 Juli 2014
Categories: Daily Reflection
1 reply ›