Saya ragu-ragu apakah ada orang yang tak tersentuh oleh dimensi cinta yang disebut eros. Mungkin ya ada, tetapi berarti hidupnya tak utuh, wong ada dimensi yang gak ada [loh, ada kok gak ada, gimana sih?🤨]. Secara teoretis, tak ada orang yang tidak mengarahkan dirinya pada orang lain. Semua orang mengarahkan dirinya kepada orang lain. Perkara ujung keterarahannya ada pada kepentingan orang lain atau kepentingan diri sendiri bin caper, itu masih bisa dibahas. Yang jelas, teks bacaan hari ini menyodorkan penjelasan singkat tentang perumpamaan yang disajikan pada suatu hari Sabtu tahun lalu, ilalang yang tumbuh di ladang.
Saya hendak melihat penjelasan Guru dari Nazareth (meskipun bisa jadi sebetulnya itu cuma penjelasan penulisnya sih) dalam kerangka paragraf pertama tentang cinta-cintaan tadi. Penjelasannya itu kan bermuara pada momen ketika “orang-orang benar akan bercahaya”, berlawanan dengan orang-orang yang tidak benar: yang hidupnya lebih banyak ilalangnya daripada gandumnya. Di sini jelaslah bahwa Anda tak pernah bisa menafsirkan istilah “orang-orang benar” dengan kategori agama apa pun. Orang-orang benar tak pernah berarti orang beragama Kristen, Katolik, Islam, Buddha, Hindu, atau entah agama mana lagi yang bisa Anda sebutkan.
Maksud saya: atribut “benar” tidak bergantung pada agama, tetapi pada bagaimana orang beragama itu mentransformasi hidupnya sedemikian rupa sehingga gandumnya tumbuh lebih subur daripada ilalangnya. Di sini diperlukan sesuatu yang bisa jadi turning point bagi hidup orang beragama itu. Sesuatu itu terhubung dengan Kenyataan Ilahi, yang kepadanya orang beragama mengarahkan diri. Itu mengapa saya mengawali refleksi ini dengan bingkai dimensi cinta yang disebut eros tadi.
Lihatlah kembali apa yang terjadi pada diri Anda ketika mengalami eros dalam masa jayanya. Yang semula penampilannya kumuh, tahu-tahu jadi begitu rapi. Yang semula hidupnya sembrono jadi lebih hati-hati. Tadinya tak pernah bergincu, lalu jadi lebih rajin berdandan. Biasanya omong kasar, tahu-tahu sangat sopan sejak kenal seseorang yang membuat eros tadi berbinar-binar. Dinamika yang sama terjadi juga dalam hidup keagamaan. Orang-orang beragama setengah mati mengusahakan supaya hidupnya dipandang baik seturut kriteria orang-orang beragama yang lain. Orang berusaha mendekatkan dirinya kepada Tuhan dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh para pendahulunya.
Akan tetapi, akan tiba waktunya ketika orang menjadi lebih autentik, dan itulah yang membuat sebagian orang ambyar. Jebulnya matanya keranjang. Ternyata bukan cuma lidahnya yang buaya. Rupanya piawai bersandiwara, dan seterusnya. Menerima orang lain yang semula diidam-idamkan itu ternyata menjadi begitu sulit. Eros meredup dan mencari orientasi lain. Kalau ini diterapkan pada relasi manusia dan Tuhannya, problemnya tidak terletak pada Tuhannya yang berubah, tetapi pada pemahaman manusianya sendiri yang kerap luput. Diperlukan suatu disposisi yang mengubah orang dari pemahaman sesatnya mengenai Allah menuju pemahaman yang lebih nalar.
Perubahan hidup yang lebih ‘nalar’ itulah yang saya pakai untuk menggali makna teks bacaan hari ini: mana sajakah peristiwa dalam hidupku yang menjadi tonggak penting untuk mengalami pertobatan sejati; siapa sajakah pribadi-pribadi yang terlibat dalam hidupku, yang mengembalikan orientasiku kepada Allah, kepada kesejatian hidup, kepada kedamaian sesungguhnya?
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan untuk semakin memahami benih-benih ilalang yang menghambat pertumbuhan iman dan cinta pada-Mu. Amin.
SELASA BIASA XVII A/2
28 Juli 2020
Selasa Biasa XVII B/2 2018: Kabar Derita
Categories: Daily Reflection