Beauty and the Beast

Kata orang bijak, dalam hidup kita ini, good and evil grow together, tanpa kita perlu takut atau cemas, yang penting rajin-rajin melakukan discernment alias pembedaan roh itu. Alasannya itu tadi: roh jahat pun ikut bertumbuh bersama roh baik.

Cerita bacaan pertama menunjukkan bagaimana bangsa Israel keukeuh bahwa mereka akan mendengarkan segala perintah Allah. Tapi, kelak akan diceritakan mereka ikut-ikutan menyembah berhala. Artinya, keteguhan mereka untuk mendengarkan perintah Allah berjalan bersama dengan roh yang menuntun mereka untuk mendengarkan diri sendiri (saja). Rupanya, berjalan bersama itu direstui Tuhan ya, menilik teks bacaan kedua hari ini. Kalau dipaksakan sadurannya jadi begini. “Maukah tuan supaya kami pergi memusnahkan roh jahat itu?”
“Oh jangan, karena mungkin roh baiknya ikut musnah ketika kamu musnahkan roh jahatnya. Biar saja keduanya hidup bersama sampai waktunya panen.”

Kalau roh baik dan roh jahat itu bisa dipilah seperti Beauty and the Beast, mungkin ceritanya mengasikkan. Akan tetapi, pada kenyataannya, roh baik tidak bisa diparalelkan dengan Beauty saja atau roh jahat dengan the Beast saja. Keduanya punya representasi roh baik dan roh jahat, karakter baik dan karakter buruk, sifat baik dan sifat buruk, dan seterusnya. Begitu orang melekatkan kebaikan pada satu pihak dan kejahatan pada pihak lainnya, problem bermunculan.

Sebetulnya problem itu bisa dieliminasi kalau orang mau melakukan pembedaan roh tadi, entah sendiri atau bersama. Keduanya menuntut kesabaran untuk tidak terburu-buru menilai secara final apa yang semula dianggap baik atau jahat. Misalnya, bangsa Israel itu begitu menggebu-gebu untuk melakukan segala firman yang diucapkan Allah, sampai-sampai meterai perjanjiannya mesti mengorbankan entah berapa lembu jantan yang darahnya dicurahkan kepada mereka (hueksss apa gak amis sih?).

Jebulnya, niat baik yang disuarakan lantang saja gak cukup. Mereka tidak mengadakan discernment dalam jangka waktu tertentu sehingga malah ujung-ujungnya bikin patung untuk disembah. Apakah itu ekslusif milik bangsa Israel zaman itu? Tentu tidak. Sudah saya tulis beberapa posting mengenai berhala, yang mengindikasikan bahwa setiap orang punya potensi membangun berhalanya sendiri-sendiri. Maka dari itu, setiap saat dibutuhkan discernment sampai waktu yang tak bisa ditentukan.

Proses diskresi seperti itu bukan hanya menguak kesabaran seseorang, melainkan juga menawarkan kepadanya suatu gambaran Allah, yang bukan sosok keji bin kejam bin brutal untuk menghabisi siapa saja yang mangkir daripada-Nya, melainkan sosok yang sungguh memberi kebebasan kepada umat-Nya untuk berproses, berdiskresi. Ada kalanya orang gagal berdiskresi, perasaannya sedang galau, pikirannya mampet, kehendaknya buntet. Dalam kondisi itu, memang orang butuh bantuan orang lain.

Problemnya, tidak semua orang dalam kondisi itu merasa butuh bantuan orang lain, dan merasa diri mampu menyelesaikan prosesnya seturut skenarionya sendiri. Artinya, kalau menerima bantuan pun, hanya sejauh bantuan itu cocok dengan yang dipikirkannya sendiri; lupa bahwa roh jahat juga bisa bekerja lewat pikirannya sendiri. Semoga semakin banyak orang yang berbahagia karena memanfaatkan kebebasannya untuk menjadi Islam, untuk berserah kepada-Nya. Dengan cara itu, orang bukan hanya menunjukkan kesabarannya hidup bersama aneka kekuatan baik dan jahat, melainkan juga orang merealisasikan wajah Allah dalam sejarah.

Tuhan, semoga semua makhluk berbahagia. Amin.


SABTU BIASA XVI C/1
27 Juli 2019

Kel 24,3-8
Mat 13,24-30

Sabtu Biasa XVI B/2 2018: Tengkar Tapi Rukun
Sabtu Biasa XVI C/2 2016: Menabur Benih Menuai Badai?