Saya tak tahu bahwa filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel pada awal abad XIX pernah bilang doa pagi orang modern adalah baca koran. Kalau sekarang, kira-kira ya doa pagi orang posmodern adalah rosario atau zikir gawai: sekadar cek medsos, memberi ikon jempol atau tawa terbahak-bahak (moga-moga) sesuai dengan moodnya.
Memang, mesti saya akui, bahkan kalau Anda tak mau mengakuinya, bahwa belakangan ini doa ada dalam krisis karena orang tersekularisasi (itu loh, realisasi kecenderungan untuk memisahkan yang sakral dari hidup fisik-mental ini), begitu banyak problem yang mesti diselesaikan, selain tentu saja karena ada banyak distraksi. Dalam aktivisme yang membingungkan itu ranting kering pertama yang jatuh adalah doa, karena orang berpikir bahwa doa itu tak berguna menyelesaikan aneka persoalan yang membingungkan tadi. Begitulah kiranya pola pikir utilitarian yang mengukur apa saja dari kegunaannya.
Orang rasionalis mungkin menyodorkan pertanyaan rasional: ngapain mengajukan permohonan kepada Tuhan kalau Dia sudah ngerti kebutuhan kita? Mungkin jawabannya juga rasional: meminta itu untuk kepentingan peminta, bukan kepentingan pemberi. Nah, itulah, saya gak butuh meminta-minta, Rom! Jadi, doa itu tak ada gunanya. (Lha, masuk ke pola pikir utilitarian lagi deh.)
Saya hendak belajar dari yang ditawarkan Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini. Cukup satu kata saja: Bapa. Saya mengerti bahwa kata ini tak bisa diidentikkan dengan ‘bapak keluarga’ begitu saja meskipun bisa klop dengan karakter ideal bapak keluarga. Akan tetapi, sebutan itu penting justru untuk positioning. Kalau orang keliru memosisikan diri, pasti jadi lucu. Syukur kalau lucunya menghibur. Kebanyakan sih lucunya menggemaskan.
Saya tidak sedang mengundang Anda untuk meletakkan ‘Bapa’ tadi dalam konteks doktrin mengenai Tritunggal. Percayalah, yang membedakan Anda dan saya cuma bagaimana Anda menjalankan ritual Anda: berapa kali sehari, dengan bahasa apa, dengan pernik-pernik apa saja, dengan bantuan robot hidup seperti apa, dan seterusnya. Di luar itu, sebutan ‘Bapa’ ini penting untuk menunjukkan di mana Anda berada.
Maaf, jangan salah, saya sama sekali tidak sedang membicarakan penyebutan kata ‘Bapa’ dalam doa, tetapi soal positioning tadi. Sebutan ‘Bapa’ mengasumsikan bahwa penyebutnya memosisikan diri sebagai ‘anak’, yang biar bagaimanapun, memerlukan sosok ‘ayah’ sebagai pelindung, dan bukannya sebagai hakim, monster yang siap menghancurkan anak brengsek seperti siapa. Salah memosisikan diri, salah berelasi.
Pertanyaan lain juga bisa menyusul: kerap kali Tuhan tidak mendengarkan doa, ngapain berdoa?
Padahal, bahkan tak perlu jadi ‘bapak keluarga’ untuk mengetahui bahwa tidak setiap permintaan anak itu dipenuhi pada saat permintaan diajukan. Ada waktunya. Ada tempatnya. Terlepas dari itu, yang menurut saya lebih penting, paradigma mengenai doa mungkin juga perlu dikritisi jika orang mengaitkannya dengan mukjizat: mukjizat terjadi bukan pada saat Allah mendengarkan dan merealisasikan keinginan manusia (kalau itu sih, sains bisa memenuhinya), melainkan pada saat manusia mendengarkan dan merealisasikan keinginan Allah.
Sayangnya, untuk memungkinkan terjadinya mukjizat itu, orang perlu memosisikan diri sebagai anak tadi, dan menyelisik diri, dan itulah yang bikin banyak orang takut. Begitu mesti berhenti dari aktivisme dan berhadapan dengan dirinya sendiri, aduh mak, mengerikan. Padahal, doa terjadi pada momen seperti itu.
Tuhan, ajarilah hati kami bersekongkol dengan-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XVII C/1
28 Juli 2019
Kej 18,20-33
Kol 2,12-14
Luk 11,1-13
Posting 2016: Berdoa Kapan-kapan
Categories: Daily Reflection