Semoga masih ingat posting non multa sed multum bulan lalu. Kalau lupa dan mau mengingat-ingatnya silakan klik tautan itu. Hari ini ada contoh konkretnya dalam cerita Maria dan Marta. Sudah suatu tindakan revolusioner bahwa pada zaman itu Marta, perempuan, berinisiatif menyambut Guru dari Nazareth, yang adalah laki-laki. Perempuan itu ya kanca wingking saja, alias di dapur sana kerajaannya. Sudahlah, itu zaman jebot. Sekarang sudah banyak perempuan yang kerajaannya bukan cuma dapur. Ada juga yang di atas gerbang sepur atau di medan tempur, tetapi itu bukan pokok yang langsung terhubung dengan non molte ma molto tadi.
Juga dalam upaya melayani, menyambut orang, memberikan hospitalitas, melakukan kebaikan, toh orang bisa jatuh dalam kontradiksi. Lagi-lagi, maksud dan niat baik itu perlu diuji dengan bagaimana itu dijalankan, dan kalau perlu dievaluasi dengan akibat yang ditimbulkannya. Memang rupanya melakukan kebaikan itu tak begitu gampang seperti dibayangkan, apalagi kalau ditambah dengan tolok ukur kebenaran dan ketepatan seperti pernah dibahas beberapa waktu lalu. Ya memang di situlah tantangan orang beriman: justru karena tak mudah itulah orang boleh berharap bahwa ikhtiarnya ada dalam trek yang semestinya.
Marta begitu menekankan molte (cosé, baca: kose) daripada molto (béné), sehingga bahkan dari pertanyaan retorik kepada Guru dari Nazareth yang membiarkan Maria bersimpuh mendengarkannya, Marta bikin petisi supaya Sang Guru intervensi dan Maria bisa juga bekerja di dapur. Ha rak malah lali bin lupa pada maksud menyambut Sang Guru toh, sampai-sampai Sang Guru mengingatkan bahwa yang penting itu bukan molte cose tadi alias banyaknya hal yang dikerjakan, melainkan satu hal saja bahwa orang mendengarkan Sabda Allah secara molto bene.
Kiranya pengalaman itu mak jleb untuk Marta dan dia akhirnya tahu bahwa tindakan emansipatifnya tidaklah cukup revolusioner. Lha itu tadi, wong sudah punya inisiatif untuk menyambut Guru dari Nazareth kok ujung-ujungnya meminta perempuan lain untuk kembali ke dapur. Bisa dimengerti sih karena saat itu belum dikenal layanan belanja makanan online. Alhasil, memang akhirnya Marta jadi ribet ini dan itu, yang memuat bahaya kehilangan fokus pada satu hal yang penting tadi.
Satu hal penting itu tidak meniadakan keribetan manusiawi, tetapi memberi insight padanya. Bahkan, di lain tempat dikatakan juga bahwa kalau orang sungguh mencari dan menemukan yang satu itu, hal-hal lain akan ditambahkan juga. Jadi, sudah sewajarnya kalau Marta juga mengadopsi disposisi orang Afrika dengan problem-free philosophy mereka: hakuna matata. Konon dalam bahasa Swahili itu berarti no problema, semua akan baik-baik saja.
Bahkan meskipun ungkapan itu bisa jadi sumber pertengkaran (karena hak paten atau kolonialisme baru), kalau orang menghidupi filsafat hakuna matata sungguh-sungguh, tentu dengan terbuka pada kekayaan hidup, ia bakal menemukan jalan terbaiknya untuk menemukan satu hal penting dalam hidupnya, yang tak akan bisa dirampas oleh siapa pun. Tak ada cara yang otomatis menjamin orang menemukannya karena ini problem cinta: orang mesti mendengarkan dulu sebelum karunia cinta itu terkomunikasikan.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin mampu berinisiatif menyambut-Mu dalam aneka kesibukan hidup kami. Amin.
PESTA WAJIB ST. MARTA
(Senin Biasa XVII C/1)
29 Juli 2019
Posting 2017: Begins with A Smile
Posting 2016: Sok Sibuk Lu
Posting 2015: MOS nan Tak Berguna
Posting 2014: Rempong versus Bengong
Categories: Daily Reflection