Konon di Cina para koruptor dihukum mati, kalau ketahuan. Di Indonesia kebijakan itu tidak dibuat, mungkin karena sudah tak ada cukup lahan untuk menguburkan mereka. Terlepas dari polemik soal hukuman mati, sistem yang dijalani di Cina itu mungkin memang dimaksudkan supaya kesejahteraan umum tidak dirongrong oleh oknum-oknum serakah.
Ada cara lain yang disodorkan Taurat Musa, yaitu mekanisme Tahun Yobel, Tahun Rahmat Tuhan. Yobel sendiri adalah terompet yang terbuat dari tanduk biri-biri jantan yang dibunyikan sebagai penanda Tahun Rahmat Tuhan itu. Kapan? Setiap tahun ke-50, yaitu setelah tujuh kali tujuh tahun. Apa yang terjadi pada tahun itu? Para budak dibebaskan, hutang-hutang juga dihapuskan. Lha kok enak sekali? Mereka yang piawai berbisnis rugi dong!
Ide di balik itulah yang membedakan agama Yahudi dari komunisme mengenai kesejahteraan umum. Komunisme menyembunyikan kekuasaan otoriter atas nama kesamarataan. Tahun Rahmat Tuhan justru mengakui bahwa transaksi ekonomi bisa menggiring orang yang piawai berjual beli pada sikap mental penguasa absolut. Maka dari itu, pada kurun waktu tertentu perlu dilakukan semacam reset, seolah mulai dari nol lagi.
Orang diingatkan bahwa bumi ini milik Allah yang diberikan kepada manusia untuk dikelola. Manusia adalah administrator, bukan master, bukan penguasa absolut. Lha, pergeseran dari pengelola jadi penguasa inilah yang menimbulkan perbudakan terbesar dalam sejarah manusia. Dengan mengabaikan Allah sebagai pemilik hidup ini, penguasa mengabaikan sesama manusia sebagai saudara: ia menjadi serigala bagi orang lain, apalagi yang jadi momok baginya.
Itulah yang terjadi pada Herodes. Ia melakukan apa saja yang ada di kepalanya tanpa pikir bahwa nyawa orang jauh lebih berharga daripada pemenuhan janji kekanak-kanakan. Ia bahkan punya kendali penuh atas apa yang harus dilakukan bawahan-bawahannya. Ia lupa, atau mungkin lebih tepatnya tak mengerti bahwa penguasa hidup sesungguhnya ialah Allah sendiri.
Agama yang menggeser fungsinya dari pengelola moralitas umat manusia (yang mau tak mau mesti berdialog dengan sumber moralitas lainnya) menjadi penguasa moralitas manusia justru akan jatuh pada agama komunis. Ia tak memberi ruang perjumpaan pribadi manusia dengan Allah, penguasa hidup yang sesungguhnya, tetapi malah menghakimi secara sadis manusia yang rapuh. Agama (baca: orang-orangnya) lupa bahwa ia hanyalah administrator.
Ya Tuhan, ingatkanlah kami senantiasa bahwa kami alat-Mu, bukan penguasa yang menggantikan Dikau di bumi ini. Amin.
HARI SABTU BIASA XVII B/1
Pesta Wajib St. Alfonsus Maria de Liguori
1 Agustus 2015
Posting Sabtu Biasa XVII Tahun Lalu: Siapa Yang Kamu Sebut Nabi?
Categories: Daily Reflection
1 reply ›