Kemarin lusa saya menonton pertunjukan kethoprak yang mengisahkan Superman dalam kultur Jawa. Lucu memang, tetapi perhatian saya sempat tertuju pada perilaku panitia yang membawa teman atau tetangganya untuk pindah tempat duduk ke depan. Deretan bangku di depan rupanya disediakan untuk panitia dan undangan khusus (atau yang berhasil menyusup lewat pintu samping seperti teman saya, hahaha). Nah, yang bukan panitia atau undangan khusus dan penyusup itu rupanya masih bisa duduk di depan kalau dia kenal dengan panitianya: entah karena satu kampus, satu kampung, atau satu kamar kos.
Untuk sebagian orang mekanisme seperti ini dipandang wajar. Ya wajar dong mosok keluarga sendiri tidak membantu saya. Lumrah dong kalau anaknya presiden njuk bisa gampang jadi PNS atau posisi politik yang strategis (semoga tak terjadi pada presiden ini). Sudah biasa juga kok pendatang dari desa membawa orang satu kampungnya supaya bisa menetap di kota yang sama. Pokoknya, wajarlah hubungan darah atau ikatan primordial dijadikan faktor penting untuk memasukkan orang dalam posisi atau event tertentu.
Ini yang menimpa orang gila dari Nazaret. Setelah berpuasa 40 hari, bekerja di sana-sini, ia kembali ke tempat ia dibesarkan dan di tempat ibadat ia diminta membaca Kitab Suci dan memberi komentarnya. Orang-orang sekampungnya itu gempar karena klaim yang disampaikannya bahwa Tahun Rahmat Tuhan telah tiba pada saat ia membacakan teks dari Yesaya. Orang-orang di kampungnya itu tahu benar siapa orang gila itu, dan reaksi mereka dalam teks Injil Lukas (“Bukankah dia ini anak Yusuf?”) tak perlu ditafsirkan sebagai ungkapan mereka merendahkan kemampuan Yesus. Lukas tidak menampilkan Yesus sebagai sosok yang berasal dari keluarga hina.
Teks Lukas itu memberi kesan bahwa orang kampung itu mengenal siapa Yesus, dan karena tahu bahwa Yesus sudah bikin mukjizat di tempat lain, mereka menuntut dia untuk melakukan hal yang sama di kampung mereka itu. Mentalitas itulah rupanya yang langsung berkonflik dengan pewartaan Yesus sendiri. Konflik gimana? Mereka maunya Yesus itu ya melakukan pelayanan yang sama seperti yang dia buat di tempat lain! Sederhana, bukan? Lha, tapi kok Yesus gak mau?
Persis karena Yesus sedang mewartakan Tahun Rahmat Tuhan itu yang pastinya terbuka bagi orang dan bahkan bangsa lain. Dalam teks ditunjukkan bagaimana ia mengingat karya nabi yang tertuju kepada bangsa lain. Ini menentang mentalitas yang umum dipelihara: apa yang bisa kuperoleh dari A B C D E. Posisi Yesus beda: apa yang bisa kubuat bagi A B C D E. Yesus mengajak orang kampungnya untuk keluar dari sikap posesif, juga terhadap kebenaran. Sebetulnya orang kampungnya itu semula membenarkan apa yang diomongkan Yesus mengenai karya keselamatan Tuhan, tetapi ketika disinggung mentalitas posesif mereka, menggonggonglah mereka.
Orang-orang itu tak mau melepaskan sikap posesif mereka terhadap apa yang mereka pandang baik untuk mereka. Dari zaman batu sampai sekarang pun kiranya masih terpelihara keyakinan itu: posesif adalah tanda-tanda cinta. Padahal, jelas, yang namanya posesif itu ya tanda-tanda egoisme. Orang mengira bahwa relasi suami istri atau orang berpacaran itu bisa bertahan karena yang bersangkutan memelihara sikap posesif. Cemburu pun dianggap sebagai bumbu-bumbu cinta. Preeeet…. Yang membuat orang bertahan dalam relasi adalah komitmen. Cemburu malah bisa jadi buah dari sikap posesif orang; kalau ditambahi kekerasan hasilnya bisa jadi fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme.
Yesus menawarkan cinta dewasa: cinta yang membebaskan aneka macam orang yang terbelenggu oleh bermacam-macam dosa (yang juga mengakibatkan kesusahan fisik). Posesif, kalau mau dipaksakan jadi indikator cinta, mesti diletakkan di level rendah, karena sikap itu lebih mengarah pada kekuasaan daripada cinta yang sesungguhnya.
Tuhan, semoga aku semakin mampu membuka hati supaya sabda-Mu semakin luas. Amin.
HARI SENIN BIASA XXII B/1
31 Agustus 2015
Posting Tahun Lalu: Kata-katanya Bijak, Ujung-ujungnya Duit
Categories: Daily Reflection
2 replies ›