Saya yakin bahwa Anda pasti pernah mendengar atau membaca istilah ‘tantrum’, yaitu istilah untuk mendeskripsikan reaksi seorang anak ketika keinginannya tak dikabulkan: menangis, berteriak-teriak, membanting benda, berguling-guling, dan sebagainya; pokoknya lihat saja pengalaman masa kecil Anda sendiri.🤣 Itu wajar terjadi pada anak-anak balita. Kalau selepas balita masih terjadi tantrum, bisa jadi cara orang tua menghadapi anak balita itu keliru. Akan tetapi, maaf, ini bukan kolom majalah ibunda mahmud; silakan cari sendiri cara menghadapi tantrum, yang bisa jadi merepotkan jika terjadi di tempat publik.
Saya berkepentingan untuk melihat teks bacaan hari ini mengenai perempuan Kanaan dengan bingkai perkembangan iman seseorang seperti dalam hidup biasa, tantrum juga merupakan tahapan yang dilalui seorang insan. Mungkin Anda melihat sosok perempuan itu sebagai orang dengan tingkat perseverance yang tinggi atau bisa juga perempuan yang suka ngèyèl atau mau menang sendiri. Bisa juga, perempuan itu dianggap mentransformasi tantrum masa kecilnya dengan kesukaan untuk mendebat orang lain. Saya tak punya kompetensi untuk menyalahkan anggapan-anggapan itu, tetapi baiklah saya pakai beberapa hal dari anggapan itu untuk memetik insight dari teks bacaan hari ini.
Tidak lucu jika perempuan Kanaan itu berguling-guling memohon kepada Guru dari Nazareth untuk membantu anak perempuannya yang kerasukan. Sudah bukan zamannya untuk bertantrum ria. Teriakannya tidak disebabkan oleh keinginannya yang tak terkabul, tetapi sungguh dari harapannya supaya Guru dari Nazareth membantu. Apakah dia ngotot dan ngèyèl terhadap wacana yang disodorkan Guru dari Nazareth? Sama sekali tidak. Ia tidak membantah bahwa Guru dari Nazareth itu datang bagi bangsa Israel, bukan bangsanya yang tak mengenal Allah Israel. Akan tetapi, di sini menariknya, perempuan Kanaan itu melihat kemungkinan yang lebih luas: bahwa keselamatan yang ditujukan kepada bangsa Israel itu akhirnya juga menyentuh kemanusiaan universal.
Perseverance perempuan Kanaan itu tidak muncul sekadar karena maunya ngotot, tetapi karena harapan dan keyakinan bahwa keselamatan itu mestilah berlaku bagi semua, no matter what. Perempuan ini tidak ngotot, tetapi kreatif melihat peluang. Ini bukan lagi tantrum, melainkan sikap dewasa untuk memahami bagaimana semestinya orang beriman menjalani hidupnya. Semakin minim tantrum, semakin bergerak ke intellectum. Semakin beriman, orang bukannya semakin tutup mata, melainkan justru membuka mata untuk mempertanggungjawabkan iman itu dengan rasionalitasnya. Begitulah kiranya fides quaerens intellectum menurut S. Anselmus.
Pernah saya bagikan dalam buku Saat Tuhan Tiada, sebuah pengalaman doa nan kering secara berkepanjangan. Sekitar setahun saya setiap sore hanya duduk bersila membaca teks Kitab Suci dan mendoakannya, tetapi saya merasa sepanjang tahun itu lebih banyak distraksinya. Doa tak membawa insight, malah kadang berisi wacana-wacana kuliah dan kilatan peristiwa yang saya alami di jalan atau di tempat lain. Benar-benar tiada guna!
Pada awal tahun kedua saya kuliah filsafat, saya bertanya-tanya sendiri: kalau doa saya kering dan tiada guna, dari mana datangnya perseverance yang membuat saya setia setiap sore duduk membaca dan bermeditasi? Saya tersadar bahwa saya memelihara false belief: bahwa doa harus setiap kali memberi insight baru. Saya tersadar bahwa Allah rupanya memberi rahmat kesetiaan pada saya. Betul, sewajaranya orang beriman mengurangi tantrum dan menambah intellectum supaya dapat mengenali Allah yang bekerja dalam dan melalui segala kondisi.
Tuhan, semoga kami senantiasa dapat mengalami kehadiran-Mu dalam dinamika hidup receh kami. Amin.
RABU BIASA XVIII A/2
5 Agustus 2020
Rabu Biasa XVIII B/2 2018: Tuhan Tobat
Rabu Biasa XVIII C/2 2016: We’re No Strangers
Categories: Daily Reflection
saya pernah bertanya2 dn sdkt patah hati, Rm, ketika merasa Yesus koq tega ya menyebut wanita kanaan itu sbg anjing. lalu sy mencari tau, dn menemukan bhw itu semua adh metafor, syukurlah, dan sy tersentuh banget. ternyata anjing, adh metafor org yg menelan semua pengetahuan #daging adh metafor semua pengetahuan, doggy suka daging#, dn wanita itu adh org yg jiwanya kebingungan #metafor anak perempuannya sakit# roti adh metafor ajaran spiritual. Yesus mengecamnya krn wanita itu menerima/mencampuradukkan semua pengetahuan, dn menjd kebingungan. Wanita itu mengakui, dn menjb bahkan anjing diijinkan memakan remah2 roti #metafor Sabda Allah# di bwh meja #metafor level pemahaman yg rendah akan Sabda Allah# shg peremp canaan itu sec implisit menjb, pls, beri saya pengajaran spiritual sekalipun pd tingkat yg rendah sesuai pemahamanku, maka sekalipun aku memahaminya pd tingkat paling rendah, paling asu, akn ckp u menolongku# dan Yesus menjb dia sec implisit, besar imanmu, yg artinya wanita itu menemukan nilai dn (cara) pemahaman baru akn Sabda Allah.
🤧😭hati sy seketika bersyukur, rm
LikeLike