Pernahkah Anda berpikir bahwa Tuhan bisa bertobat? Mungkin sebagai ungkapan antropomorfis (Tuhan digambarkan sebagai sosok seperti manusia), itu bisa dilihat dalam teks Perjanjian Lama bagaimana Allah menyesal mengutuk kota dan membatalkannya. Pengertian yang sama lalu diterapkan pada manusia sendiri: bertobat berarti soal menyesal dan membatalkan atau menghentikan hal yang dianggapnya sebagai sesuatu kekeliruan. Dalam Perjanjian Baru saya tidak menemukan pola seperti ini. Let me know kalau Anda menemukannya dalam teks Perjanjian Baru ya, saya beneran tak tahu, atau lupalah.
Dalam Perjanjian Baru saya temukan pola yang berbeda. Dalam teks bacaan hari ini yang bertobat adalah Tuhan, tentu dengan asumsi bahwa guru dari Nazareth itu adalah Yesus, dan Yesus itu adalah Kristus, dan Kristus itu Tuhan. Believe it or not, none of my business, hahaha. Yang penting, saya hendak melihat perspektif pertobatan dalam arti yang lebih inklusif. Itu mengapa saya tanyakan sejak awal apakah Tuhan itu bisa bertobat. Yang melihat hidup ini secara hitam putih tentu jawabannya negatif: mana mungkin Tuhan bertobat, manusialah yang bertobat, karena ia mesti kembali kepada Tuhan!
Betul, saya tak menolak pengertian itu, tetapi itu bukan satu-satunya pengertian yang bisa membantu orang untuk beriman. Lihatlah bagaimana perempuan Kanaan itu menunjukkan ‘iman’-nya dan dampaknya bagi guru dari Nazareth. Dia begitu yakin bahwa panggilan hidupnya ialah mewartakan kabar gembira bagi Bangsa Israel saja, tetapi perempuan itu terus ngotot sampai akhirnya guru dari Nazareth itu melihat kemuliaan iman perempuan itu: warta gembira itu juga berlaku bagi semakin banyak orang. Itulah pertobatan: menyampaikan kabar gembira, terlibat dalam pewartaannya kepada semakin banyak orang.
Apa yang memungkinkan hal itu? Iman perempuan Kanaan! Iman perempuan ini begitu besar sampai guru dari Nazareth itu tercengang. Tapi bagaimana orang bisa menilai iman seseorang besar, kecil, atau tiada? Itulah: dalam Perjanjian Lama diukur dari ketaatan kepada Sabda dalam Hukum Taurat. Dalam Perjanjian Baru, tolok ukurnya ada pada Sabda hidup yang melekat pada peristiwa Yesus itu. Kalau begitu, tak mungkinlah iman dikotakkan atau dibatasi oleh sekat agama apa pun. Ini klop dengan pertobatan yang ditunjukkan guru dari Nazareth tadi.
Dengan kata lain, iman berbanding lurus dengan pertobatan orang: terlibat dalam tanggung jawab sosial supaya semakin banyak orang percaya bahwa Allahlah sumber kehidupan yang pantas disembah semua saja. Iman seperti ini dimulai dengan seruan yang disampaikan perempuan dari Kanaan tadi: Kasihanilah aku, ya Tuhan…
Tak ada orang bertobat dan beriman tanpa mulai dari situ. Celakanya, barangkali semakin banyak orang malah tak sanggup mengatakan seruan perempuan Kanaan itu karena merasa dirinya pusat segala-galanya, pusat kebenaran, pusat agama, pusat semesta dan seterusnya. Indikasinya jelas: orang sulit berpikir dari perspektif kolektif, lebih mudah individual. Fokusnya ada pada ‘apa yang bisa kudapatkan’, bukan ‘apa yang bisa kuberikan untuk hidup bersama. Agendanya ‘berilah aku rezeki selama-lamanya’ lebih daripada ‘berilah kami rezeki pada hari ini’. Dari situlah orang sikut-sikutan, injak-injakan, bunuh-bunuhan.
Kasihanilah kami, ya Tuhan, kasihanilah kami. Amin.
RABU BIASA XVIII B/2
8 Agustus 2018
Rabu Biasa XVIII A/1 2017: Let God Do the Rest
Rabu Biasa XVIII C/2 2016: We’re No Strangers
Rabu Biasa XVIII B/1 2015: Jangan Meremehkan Insha’ Allah
Categories: Daily Reflection