Menuntun Tontonan

Sejak lama saya bertanya-tanya apakah agama-agama di Indonesia ini, khususnya, jadi bagian dari solusi malah jadi bagian dari persoalan bangsa. Tentu jawaban mudahnya adalah agama itu jadi bagian persoalan sekaligus bagian dari solusi. Akan tetapi, masih bisa diperdebatkan mana yang das Sein dan mana yang das Sollen, mana yang menggambarkan kenyataan dan mana yang menunjukkan gambaran ideal. Saya kira kita tahu sama tahu bahwa agama sebagai bagian dari solusi barulah gambaran ideal. Artinya, memang di sana-sini ada upaya agama untuk jadi solusi, tetapi upaya itu kerap terganjal oleh kontradiksi dalam dirinya sendiri.

Kontradiksi dalam dirinya sendiri itulah yang membuat agama berada dalam tegangan untuk menjadi rahmat bagi semesta (begitulah pemuliaan Allah) atau barang keramat bagi semesta (begitulah pemuliaan dirinya). Yang pertama memungkinkan agama menjadi tuntunan, yang kedua mengantarkannya sebagai tontonan. Kapan tuntunan menjadi tontonan? Ketika tuntunan itu dipandang sebagai yang mutlak, seakan-akan tangan Allah yang hendak menuntun manusia itu hanya satu dan siapa saja mesti menuruti tuntunan yang dimutlakkan itu, entah lewat kekerasan brutal atau lewat upaya legal. Sebagai tontonan, agama sungguh rawan terhadap aneka kepentingan politik, yang bisa jadi mengikuti logika pasar, sehingga yang kaya, pintar, besar, berkuasa, bisa jadi merajalela.

Gereja Katolik hari ini memperingati seorang imam yang secara akademis benar-benar payah. Mungkin seperti saya inilah, ujian ad audiendas (untuk mendengarkan pengakuan dosa, syarat jadi imam Katolik) cuma dapat C minus, dan minusnya itu bukan sembarang minus, melainkan minus yang panjangnya sekitar tiga sampai empat sentimeter.🤣 Saya tidak tahu berapa nilai yang diperoleh S. Yohanes Maria Vianney. Mungkin minusnya cuma setengah sentimeter, entahlah. Pokoknya, setelah ia diizinkan menjadi imam Katolik, ia ditugaskan di desa terpencil, supaya kalau menyesatkan orang pun, yang disesatkan tak banyak jumlahnya. Jebulnya, dia ini malah jadi sosok imam yang sangat disukai banyak umat. Banyak orang datang dari segala penjuru untuk pengakuan dosa dan tuntunan rohani padanya.

Teks bacaan hari ini menunjukkan bagaimana Guru dari Nazareth benar-benar gemas kepada orang-orang Farisi dengan menganggap mereka sebagai orang buta yang menuntun orang buta. Maka, kalau ajarannya menjadi batu sandungan bagi mereka, ya malahané, memang mereka mesti dibikin kesandung kali’ ya. Lha piyé jal, orang-orang sudah setua, sesenior, sepandai, seterhormat itu kok yang ditonton ya tak jauh dari perkara cuci tangan sebelum makan semata karena itu adalah adat istiadat nenek moyang!

Tentu persoalannya bukan bahwa adat istiadat itu buruk. Bukan itu yang dikritik Guru dari Nazareth. Paralel dengan itu, pasti bukan bahwa agama itu buruk sehingga pantas ditinggalkan orang yang berpikiran sekular atau ateis atau fatalis atau -is lainnya. Yang dikritik Guru dari Nazareth ialah bahwa orang memperlakukan adat, tradisi, agama, di atas kemuliaan Allah, di atas pemuliaan kemanusiaan seutuhnya.

Saya mendengar contoh khotbah dari seorang pastor pagi ini: seorang ibu yang mengundang perempuan depresi akibat ditinggal suaminya. Undangannya tidak disampaikan dengan wacana argumentatif, tetapi dengan ajakan sederhana untuk berfokus pada anak-anak. No matter what, orang beriman tidak pantas dibutakan oleh pemuliaan dirinya dan selayaknya menuntun yang lainnya supaya hidup juga bersama Allah. Lha nèk mung depresi ditinggal bojo waé akèh tunggalé. Yang memberi makna hidup bukan depresi atau protesnya, melainkan kesediaan untuk mengubah tontonan drama hidup itu menjadi tuntunan bagi yang lain untuk mengalami perjumpaan dengan Allah.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk melihat kemurahan-Mu dalam hidup kami yang serba terbatas. Amin.


SELASA BIASA XVIII A/2
Pw S. Yohanes Maria Vianney
4 Agustus 2020

Yer 30,1-2.12-15.18-22
Mat 15,1-2.10-15

Posting 2014: Kebenaran Menajiskan Hati Korup

5 replies

  1. Ilmu tanpa agama semua akan kacau semoga kita semua merenungi keadaan sekarang ..semoga semua manusia sadar kan diri masing masing untuk ketenangan masa depan bangsa nya…..

    Liked by 1 person

  2. nah, judulnya cocok nih Rm. mau tuker pikiran. dalam ‘tontonan you donate, I run’, hahaha, sejauh mana harus disikapi oleh yang lari (ngos2an), yang donate (dan yang dapat paket alat tulis). karena rumus matematika nya kan amburadul tuh. ceritanya mau dukung kelompok pelari, eh malah maksain si pelari lari ngos2an, semakin nyumbang, semakin ngos2an #kocakhabis# #ada yang bahkan lari sudah 100km, OMG#, saking merasa gak enak hati, jadi ikut2an ngukur kapasitas lari sendiri di treadmill. apa ini seperti itu? #agama# maksudnya menyebar kebaikan, apa daya malah bikin yang lain ngos2an, nah mohon pencerahannya, rm #salam sehat, rm#

    Liked by 1 person

    • Untuk semua pihak ya prinsipnya sama: do what you do, sebagai partisipasi/keterlibatan. Saya, misalnya, lari bukan karena dibayar, sehingga kalo ada yg bayar sedemikian rupa sehingga saya mesti berlari di luar kewajaran saya, ya ogah dong. Untungnya ini keterlibatan tim, bukan orang per orang.

      Liked by 1 person