Anda mungkin punya guru yang kadar keguruannya tercoreng karena sifat moodynya. Kalau urusan di rumahnya lagi amburadul, murid-muridnya mesti kena omel bin damprat. Lain hari, jika dari rumah seperti orang menang lotre, guru ini bisa jadi sangat lembut dan baik banget bahkan kepada mereka yang biasanya juga suka bikin perkara di kelas. Jika Anda punya pengalaman seperti itu, mungkin Anda lebih mudah memahami mengapa demokrasi sejati dasar terkokohnya adalah cinta, bukan MK alias Mahkamah Konstitusi, yang konon tugasnya menguji aturan main apakah sesuai dengan konstitusi atau enggak.
Jauh amat sih, Rom; demokrasi bawa-bawa cinta; ga’ ada topik lain gitu?
Lha saya kan cuma menyodorkan hal yang jelas gitu tapi kebanyakan orang gak mau lihat secara jelas atau pura-pura gak tau. Kedua, memang bacaan hari ini omong soal itu.
Dalil dalam blog ini ialah bahwa cinta itu sumbernya Cinta, yaitu Allah sendiri. Alhasil, kalau demokrasi dijalankan tanpa cinta, akhirnya demokrasi juga cuma jadi perkara menang-menangan survei dan suara, perkara kapitalisasi, atau soal bonus demografi. Orang lain diperhitungkan seharga satu suara, sebuah angka, yang berguna untuk mendapatkan atau reproduksi kekuasaan. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa cinta, Anda tak perlu ideologi atau etika politik; pokoknya welcome to the jungle dan kuat-kuatan aja cari pengaruh untuk Palestina-Israel atau Ukraina-Rusia. Ngeri…
Kembali ke guru moody tadi, barangkali bisa dikatakan begini: hanya jika moodnya baik, guru itu memandang orang lain secara baik-baik. Persoalannya, apa yang bikin guru itu moody? Ya tidak lain dari perkara demokrasi tanpa cinta tadi: relasi dengan keluarga di rumahnya jadi relasi perang, menang-menangan, kalah-kalahan, dan sejenisnya. Musuhmu jadi temanku.
Teks bacaan hari ini barangkali paralel dengan perkara seperti itu: hanya bagi orang yang mencintai Allahlah orang lain jadi layak dicintainya. Sederhananya: hanya jika Anda mencintai Allah, Anda melihat orang lain dengan penuh cinta. Hanya jika mood Anda ditentukan oleh Allah, relasi Anda dengan orang lain menjadi relasi cinta.
Loh, relasi dengan Allah kok pakai mood, Rom?
Why not mengapa tidak? Bukankah saya pernah singgung soal desolasi-konsolasi, mood jelek dalam relasi dengan Allah, betapapun jelek, itu tetaplah relasi dengan Allah, kan?
Nah, kalau gitu, apa bedanya dengan mood yang ditentukan oleh anak yang rewel atau suami/istri bawel?
Ya beda karena mood akibat urusan rumah tangga itu terikat ruang dan waktu.
Mood yang disetir Allah tidak akan melanggar prinsip kehidupan, tidak akan melanggar hukum yang fundamental, tidak akan melampaui wewenangnya. Jadi MK ya MK aja, gak usah repot-repot jadi legislatif. Kalau repot-repot, malah jelas ada udang dibalik jadi batu. Saya kira pernah saya sitir di sini ayat dari Al-Maidah yang kurang lebih Allah bersabda: jangan sampai kebencianmu terhadap orang lain bikin kamu melakukan ketidakadilan. Bersikaplah adil karena dengan begitu kamu dekat dengan takwa. Tentu saja, takwa itu syarat orang beriman menjaga keesaan-Nya.
Orang Farisi mau menjebak Yesus dengan pertanyaan tentang hukum terpenting, mungkin berharap Yesus menjawab hukum Sabat sebagai hukum yang paling utama karena memang kultur religius Yahudi berpusat di situ dan mereka tahu betul Yesus tidak menjalankan aturan hukum Sabat. Sayang sekali, mereka keliru persis karena hidup mereka ditentukan oleh mood seperti guru tadi: kekuasaan, kemenangan, kebesaran, nama baik, dan sejenisnya.
Yesus tentu saja menjalankan hukum Sabat, tetapi tidak dengan cara seperti orang-orang munafik menjalankannya. Orang-orang munafik ini suka slogan demokrasi, suka slogan demi rakyat, rakyatlah yang menilai, tetapi diam-diam punya hidden agenda yang secara senyap dijalankan tanpa sepengetahuan rakyat lainnya. Orang Farisi dan ahli taurat rentan terhadap dogmatisme: apa-apa aja kudu nuruti dogma dan dogma harus ditafsirkan seperti dia menafsirkannya. Runyam kan.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya mood kami senantiasa tertambat pada cinta-Mu. Amin.
MINGGU BIASA XXX A/1
29 Oktober 2023
Kel 22,21-27
1Tes 1,5c-10
Mat 22,34-40
Posting 2020: Wajah Cinta
Posting 2017: Cinta Berbudi
Posting 2014: Seberapa Abadi Cintamu?
