Wajah Cinta

Jumat lalu saya mengikuti webinar dengan salah satu nara sumbernya seorang alumna Pesantren (Darul Ulum?) yang mengingatkan saya pada keragaman interpretasi dalam Islam sampai dalam level praktisnya. Kalau saya tidak salah ingat ada empat mazhab yang dipraktikkannya di pesantren itu (Hambali, Hanafi, Maliki, Syafii), dan kepada para santri diberi pengertian komprehensif bagaimana empat mazhab itu punya konteksnya masing-masing. Cerita itu menjadi bingkai saya untuk membaca teks bacaan hari ini yang mengisahkan bagaimana Guru dari Nazareth dicecar oleh kaum Farisi, setelah mereka tahu bahwa kaum Saduki terbungkam oleh jawaban Guru dari Nazareth. Farisi dan Saduki sebetulnya berseberangan, tetapi karena dua-duanya terancam oleh kehadiran Guru dari Nazareth ini, mereka punya target yang sama untuk dihancurkan.

Memang pada masa hidup Guru dari Nazareth itu ada tokoh agama dan masyarakat yang memiliki tafsir berbeda-beda terhadap teks suci yang mereka miliki. Kaum Farisi adalah kelompok orang yang sangat legalistik dan memperhatikan detail aturan hukum Musa. Kaum Saduki dipandang lebih tradisionalis meskipun tidak sekaku kaum Farisi. Kelompok Herodian adalah mereka yang taat pada hukum Yahudi tetapi kolaboratif dengan penjajah (Romawi). Sebaliknya, kaum Zelot punya agenda politik yang begitu kuat untuk memberontak melawan penjajah. Di samping itu, ada kaum Eseni yang menarik diri dari aneka hiruk pikuk agenda politik religius kelompok-kelompok lainnya, hidup dalam kesunyian dan keterpencilan.

Menariknya, Guru dari Nazareth mengakomodasi orang-orang yang berasal dari aneka macam sekte itu, baik sebagai rasul pilihannya maupun sebagai pengikut pada umumnya. Pertanyaan kaum Farisi yang disodorkan dalam teks bacaan hari ini (manakah hukum yang terutama dalam Taurat) sebetulnya punya nuansa gugatan terhadap detachment Guru dari Nazareth terhadap aneka mazhab yang ada. Iya, sang Guru ini tidak jelas berafiliasi pada mazhab yang mana, atau memihak siapa.

Akan tetapi, keragaman mazhab tadi sebetulnya juga tidak hendak mengatakan bahwa teks sucinya berbeda. Teksnya sama, tetapi penekanan yang diberikan oleh rabbi atau guru dari masing-masing kelompok itu berbeda-beda. Jadi, 613 ayat/aturan (265 larangan dan 248 perintah) memang levelnya berbeda-beda. Sudah umum dimengerti bahwa Taurat Musa yang jadi babon ratusan ayat tadi terbagi dalam dua bagian besar: tiga kewajiban terhadap Allah, tujuh lainnya untuk manusia. Nah, kalau ditanyakan dari dua bagian besar itu mana yang utama, tentu yang satu jadi tak utama lagi.

Guru dari Nazareth menjawabnya secara out of the box. Beliau memakai kata ‘cinta’, dan itulah yang jadi penekanannya, berbeda dari penekanan guru lainnya: cintailah Allah dan sesama. Artinya, seluruh perintah dan larangan dalam Taurat Musa itu tak ada artinya jika tidak diletakkan dalam konteks cinta, yaitu cinta kepada Allah dan sesama. Yang satu mengandaikan yang lainnya untuk pemaknaannya. Maka, tiada guna mematuhi seluruh aturan jika dasarnya legalisme, sebagaimana tak berfaedah melawan penjajah untuk balik menguasai mereka.

Tiba-tiba saya teringat politik etis yang dulu dilakukan bangsa kolonial untuk menebus kesalahan mereka di masa lalu. Meskipun secara etis itu baik, tidak dengan sendirinya berlangsung karena cinta, dan karena itu tidak otomatis bermakna bagi mereka yang bersangkutan.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menampilkan wajah cinta-Mu dalam pilihan dan tindakan
kami. Amin.


MINGGU BIASA XXX A/2
25 Oktober 2020

Kel 22,21-27
1Tes 1,5c-10

Mat 22,34-40

Posting 2017: Cinta Berbudi
Posting 2014: Seberapa Abadi Cintamu?

1 reply

  1. Keren, Rm👍org suka menggabungkn hk dg Tuhan, tp lalu melupakn siapa Tuhan sbnrnya, yi Cinta, transisi hk pd Rahmat (PL ke PB). Dlm Les Mis ada 2 interpretasi tokoh yg eksklusif pd Tuhan, welas asih vs penghukum/pendendam. Dn ktk wajah Tuhan menjd penghukum/pendendam, mk hdp menjd perang yg tdk akn pernah bs dimenangkn.

    Liked by 1 person