Keadaan seperti pandemi, bagi sebagian orang beragama, menuntun pada pertanyaan teodisi demi membela kebaikan dan kekuasaan Allah. Contoh pertanyaannya: mengapa Tuhan membiarkan orang jahat berkeliaran bebas, mengapa pandemi dibiarkan, di mana Tuhan sebetulnya?
Menurut mentalitas Yahudi pada masa hidup Guru dari Nazareth, yang masih dipelihara bukan hanya orang Yahudi, setiap penderitaan manusia adalah manifestasi hukuman ilahi, hukuman Tuhan. Hukuman ini terjadi sebagai akibat dosa manusia. Bahkan, dalam mentalitas Yahudi tadi, konsekuensi dosa ini bisa tinggal selama tiga generasi. Jadi, kalau Anda sekarang tertimpa musibah atau penyakit tak kunjung sembuh, menurut mentalitas tadi, itu adalah hukuman akibat kesalahan kakek/nenek buyut Anda.
Saya tidak yakin soal itu. Menurut saya, kalau Tuhan mendatangkan bencana pun [bdk. Allah di Kalijodo], itu menimpa baik orang jahat maupun orang baik. Hujan tidak pilih-pilih siapa yang diguyurnya. Saya kira, menurut Guru dari Nazareth, bencana tidak terjadi dengan izin kegiatan dari Tuhan. Lha wong gunung meletus itu disebut bencana ya hanya karena letusannya mengganggu sekelompok manusia. Di tempat lain, gunung meletus ya gunung meletus, fenomena alam yang tak disebut bencana alam. Memang bisa-bisanya manusia memakai kata musibah dan bencana. Artinya, itu bikinan manusia, bukan buatan Tuhan.
Tapi sekarang gini, Mo. Kalau memang bencana itu adalah bikinan manusia dalam kaitannya dengan ekologi, entah itu perkara istilah atau bukan, tidak bisakah Allah mengintervensinya seperti didoakan oleh sebagian orang beragama supaya Tuhan menghancurkan orang-orang jahat, menyambar koruptor dengan petir, atau bikin celaka para pelanggar aturan lalu lintas? Tidak kuasakah Tuhan mengantisipasinya, menghindarkannya?
Saya kira ya bisa saja. Sekurang-kurangnya menurut pengalaman pribadi saya, sewaktu lolos dari maut ketika menyeberang jalan Kapten Tendean dekat Tar-Q, Jakarta Selatan (ceritanya ada di tautan ini). Akan tetapi, tidak selalu begitu kan ceritanya?
Nah itu, berarti Tuhan itu jahat juga ya.🤣
Guru dari Nazareth tak berpretensi menjawab tuntas pertanyaan teodisi, wong menurut tradisi kristiani, dia sendiri pada kayu salib bergumul,”Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Tanggapannya bersifat provokatif, mengundang orang beriman untuk senantiasa bertobat. Kalau tak bertobat, orang akan binasa dalam penderitaan. Repotnya, orang beragama akan segera menjodohkan tobat dan dosa. Mungkin solutip, tapi kurang inspiratif.🤭 Nanti ujung-ujungnya cuma soal mana yang boleh dan tak boleh. IMHO, lebih inspiratif jika tobat dielaborasikan dengan pengampunan, sebagaimana pernah saya tulis pada tautan ini. Dengan begitu, Guru dari Nazareth bisa jadi model pertobatan, bukan karena beliau pendosa, melainkan karena beliau senantiasa menampakkan sosok Allah yang jadi Tuhan bagi semua orang.
Maka dari itu, juga penderitaan akibat pandemi dan intrik-intriknya, senantiasa adalah undangan untuk bertobat. Sekali lagi, bukan untuk pertama-tama menguliti kesalahan masa lalu, melainkan untuk berikhtiar sungguh-sungguh menemukan apa yang penting atau esensial dalam hidup fana ini. Penderitaan mengundang orang beriman untuk melihat hidupnya sebagai peziarahan. Penderitaan jadi sarana untuk mencari makna hidup dalam perjalanan itu. Akan tetapi, orang beragama bisa berjalan pada kutub sebaliknya: gak mau menderita, maunya superior, memenangkan keinginan diri, dan malah tak menemukan makna. Rupanya, makna tak berbanding lurus dengan kuasa. Mungkin tak banyak orang yang punya mindfulness terhadap tendensi untuk menguasai yang lain (bahkan dalam bentuk playing victim).
Tuhan, ajarilah kami untuk bertobat, bersolider dengan cinta-Mu bagi seluruh ciptaan. Amin.
SABTU BIASA XXIX A/2
24 Oktober 2020
Sabtu Biasa XXIX B/2 2018: Kaya Masuk Surga
Sabtu Biasa XXIX C/2 2016: Ekstremis Agama
Sabtu Biasa XXIX A/2 2014: Kapan Kutukan Tuhan Terjadi?
Categories: Daily Reflection