Manusia pencari Kebenaran kadang lupa bahwa ia ada dalam perjalanan atau peziarahan bersama orang lain. Pikirnya, pencari Kebenaran itu hanya dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya hanyalah penari latar yang Kebenarannya bergantung dari dirinya. Akibatnya, Kebenaran itu jadi relatif-subjektif: bergantung pada bagaimana dia menafsirkan Kebenaran, agamanya sendiri, keluarganya sendiri, RT-nya sendiri, kelurahannya sendiri, sukunya sendiri, negaranya sendiri, dan seterusnya. Semua serba sendiri. Ngeri gak sih?
Ya wajarlah, Rom. Memangnya orang lain bisa menafsirkan Kebenaran atas dasar hidup kita? Bukankah yang mengalami hidup itu adalah diri kita sendiri? Kata Romo, orang dewasa mengunyah hidupnya sendiri, tidak dikunyahkan orang lain.
Betul sekali, tetapi itu adalah perkara internalisasi, apropriasi, atau kontekstualisasi Kebenaran dalam hidup pribadi orang yang unik. Dengan kata lain, itu adalah kutub subjektif dari penafsiran Kebenaran. Kutub objektifnya ya perlu dicari, dirumuskan, diperbaiki bersama-sama.
Masih ingat ya Tiwul yang rupanya methangkring alias nongkrong bin jongkok di kloset duduk beberapa hari lalu?
Halaaaah balik lagi urusan toilet!🤭
Lha gimana apa balik ke teks bacaan kemarin? Masih ingatkah?😂
Kemarin itu disinggung soal ini: pokoknya kalau hati orang berurusan dengan Sabda Allah yang sesungguhnya, konflik tak terhindarkan, baik konflik dalam dirinya sendiri maupun konflik dengan orang di sekeliling karena terhadap Sabda Allah itu orang tak bisa tidak mengambil sikap. Sepakat atau tidak sepakat. Tidak pakai kompromi atau diplomasi. Kompromi atau diplomasi ada di ranah lain, yang berurusan dengan politik kepentingan.
Saya kembali ke toilet untuk kasih contoh supaya teks bacaan hari ini gak kelihatan menyeramkan: jika engkau dan lawanmu pergi menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia selama di tengah jalan, supaya jangan engkau diseretnya kepada hakim dan hakim menyerahkan engkau kepada pembantunya dan pembantu itu melemparkan engkau ke dalam penjara!
Sebetulnya baik Tiwul maupun Tiwal sudah tahu bahwa kloset duduk itu memang dibuat sebagai tempat download dengan posisi duduk. Dia tidak diciptakan untuk download dengan posisi handstand, apalagi headstand.🤣 Itu benar. Tiwal-Tiwul sepakat. Apakah itu Kebenarannya? Ya, dalam arti kloset itu untuk download. Akan tetapi, bahkan meskipun itu dimaksudkan untuk posisi duduk, apakah ada polisi yang menunggui supaya orang harus duduk di kloset duduk? Tidak ada. Begitu pula, tidak ada yang melarang orang duduk di kloset jongkok. Yang penting bisa download.😂
Dengan begitu, tak perlulah Kebenaran direduksi pada hal-hal yang bersifat fana: selera, warna, posisi, cara, hobi, bahkan agama atau keyakinan. Konflik dalam hal-hal itu sebaiknya diselesaikan dengan sikap detach demi sesuatu yang lebih prinsip, lebih universal. [Itu mengapa muncul ide membuat kloset yang mengakomodasi kepentingan duduker dan jongkoker.]
Loh, kok agama Romo masukkan sebagai sesuatu yang fana?
Lha ya pancen. Apa ada ceritanya agama itu kekal? Lha wong sama usia semesta saja masih jauh. Yang kekal adalah apa yang hendak dikejar oleh agama-agama itu: maka setiap agama mesti berdamai, bukan seperti api dalam sekam, melainkan seperti partner dialog supaya bisa menemukan Kebenaran hidupnya, agamanya, lingkungannya, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan hati dan budi untuk menangkap kehadiran-Mu juga dalam pribadi dan ciptaan lain. Amin.
JUMAT BIASA XXIX A/2
23 Oktober 2020
Jumat Biasa XXIX B/2 2018: NKRI Harga Meninggal
Jumat Biasa XXIX C/2 2016: Asisten Garengpung
Jumat Biasa XXIX A/2 2014: Satu Iman Banyak Agama?
Categories: Daily Reflection
🤔headstand🤔handstand🙄🥴😅
LikeLike