Pétung

Published by

on

Ada perbedaan antara pětung dan pétung, juga antara pěthuk dan péthuk. Cara bacanya dulu ya. Vokal ‘u’ pada semua kata itu dibaca ‘o’ seperti pada kata om atau ocean. Konsonan ‘th’ diucapkan seperti orang Bali mengucapkan ‘t’ (atau orang Madura juga kali ya). Vokal ě diucapkan seperti dalam bahasa Inggris untuk kata ganti orang ketiga tunggal perempuan, her. Vokal é diucapkan seperti dalam nama kota Medan di pulau Andalas. Jadi, sekarang Anda sudah bisa melafalkan pětung dan pěthuk, juga pétung dan péthuk. CMIIW ya, pětung itu jenis bambu; pěthuk itu kata kerja berarti jemput; pétung itu sifat orang bikin kalkulasi, menghitung-hitung; péthuk berarti bodoh-bodoh konyol yang bisa menimpa orang pintar juga. Dengan demikian, Anda sudah tahu apakah Anda péthuk atau tidak.

Tapi jangan khawatir, posting hari ini mengambil judul pétung, karena teks bacaan hari ini juga berkenaan dengan perhitungan. Ini perhitungan di Hari Terakhir, yang tak perlu Anda pedulikan kapan datangnya, termasuk bahkan jika Anda tahu pasti tanda-tandanya. Poinnya, ini soal perkara sekarang dan di mana Anda berada: bagaimana Anda merasa, berpikir, berimajinasi, menilai, berkehendak, dan bertindak.

Supaya tak kelihatan njělimět, baiklah saya bagikan cerita nyata yang menunjukkan salah satu alasan mengapa bangsa kita ini tidak sedang baik-baik saja: karena NKRI jadi topeng bancakan (eufimisme jarahan) dengan aneka pétung. Ini bukan pengalaman saya, tetapi saya tetap menggunakan kata ganti orang pertama supaya tidak setiap kali saya ketik ‘sahabat saya’ atau menyebut namanya.

Saya adalah instruktur para petugas pajak yang menangani penerimaan barang dari luar negeri. Dalam setiap pelatihan, saya selalu menekankan kepada mereka bahwa mereka mesti memberi kemudahan fasilitas kepada lembaga atau perorangan yang tidak punya catatan buruk. Selain itu, dengan bahasa yang lebih inklusif, saya tegaskan kepada mereka bahwa kita bekerja bukan semata demi perut, melainkan pelayanan dan bentuk ibadah kepada Allah sendiri.
Tentu, dalam pelatihan, aneka himbauan seperti itu akan ditanggapi dengan anggukan kepala dan jika saya minta mereka berjanji secara verbal, mereka menjawab siap sedia ala petugas keamanan. Saya tidak péthuk dan menerima mentah-mentah semangat pelayanan yang mereka ikrarkan di depan saya.

Kebetulan, saya punya teman yang mengelola lembaga kemanusiaan nirlaba dan bantuan dari luar negeri rupanya terhambat di gudang sekian lama. Stafnya sudah berusaha melobi kantor yang menangani barang kebutuhan mereka, tetapi tampaknya mereka mesti memenuhi aneka denda mahal yang sebetulnya tidak perlu.

Dengan aplikasi voice changer saya menelpon anak buah saya dan menanyakan donasi untuk lembaga teman saya. Saya memberi kesan bahwa saya pernah menelponnya dan membujuk lagi supaya dibebaskan dari denda seturut surat keterangan yang telah diterbitkan. Tidak lama setelah beberapa kali muter-muter ke sana kemari, saya matikan fitur voice changer dan anak buah saya mengenali suara saya dan segera minta maaf dengan ketakutan: “Maaf sekali, Pak, saya tidak tahu Bapak yang telpon. Kalau tahu, tadi langsung saya proses.”
Mendengar jawaban itu, saya langsung tegur keras: “Justru kalau yang telpon bukan saya, seharusnya kamu memberi kemudahan!”
Menjengkelkan memang. Itu indikasi bahwa mereka tak menghidupi prinsip-prinsip yang sudah dilatihkan sekian lama. Jika petugas negara bermental seperti itu, bagaimana NKRI ini mau baik-baik saja?

Betul. Di balik mentalitas petugas negara tadi memang tersembunyi semangat pétung yang kira-kira dasar pemikirannya bukan apa yang dapat kuberikan kepada NKRI, melainkan apa yang dapat kuambil dari NKRI!
Pétung tampaknya bikin orang jadi péthuk. Memang ada pét
ung yang diperlukan, tetapi pétung yang dipersoalkan dalam teks bacaan hari ini ialah pétung yang membuyarkan kebaikan seseorang.

Mari perhatikan baik-baik teksnya. Pertama, itu bukan perkara memberi uang kepada pengemis, melainkan perkara memberikan apa yang dibutuhkan orang lain (tidak identik dengan apa yang diinginkan), dan itu bisa dilakukan oleh siapa pun, hal-hal yang biasa saja: beri minum yang haus, makan kepada yang lapar, pakaian kepada yang telanjang [kecuali memang sedang mandi], kunjungi orang yang dipenjara. Kedua, bantuan itu, kalau keluar dari ketulusan, tidak akan dilandasi semangat pétung. Kalau orang membantu orang lain dengan pétung, termasuk seberapa dia dapat pahala, percaya deh, itu malah mengurangi atau bahkan membatalkan pahalanya sendiri, jadi egoisme tersembunyi. Ketiga, mungkin kebaikan sejati memerlukan pihak ketiga sebagai rujukan atau patokan seperti dalam kasus instruktur tadi.

“Seandainya saya tahu yang telpon Bapak, saya akan langsung proses,” kata petugas negara tadi. Bukankah si Bapak itu sudah bolak-balik melatihnya supaya perlakuan terhadap orang lain itu seperti selayaknya ia memperlakukan si Bapak? Jadi, bukankah entah yang telpon itu si Bapak atau bukan, ia tinggal memperlakukan konsumen itu seperti ia semestinya memperlakukan si Bapak?

Andai saja banyak orang percaya bahwa Allah hadir dalam diri mereka yang butuh bantuan, mungkin NKRI ini baik-baik saja. Bisa jadi ada lebih banyak yang merasa butuh bantuan untuk berkuasa, tampil wah, flexing bin pamer, tampak maju, dan sejenisnya daripada untuk sekadar sehat, bisa cukup makan minum, dan punya tempat tinggal.

Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati-Mu supaya kami semakin utuh sebagai anak-anak-Mu. Amin.


HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
Minggu, 26 November 2023

Yeh 34,11-12.15-17
1Kor 15,20-26.28

Mat 25,31-46

Posting 2020: Insan Kamil
Posting 2017: Agama Kok Hirarkis

Posting 2014: Raja Berkuping Lebar

Previous Post
Next Post