Ini klarifikasi saja atas ungkapan yang kerap jadi sumber kesalahpahaman antara orang di pojok sana dan pojok sini yang mungkin tak pernah sungguh berkomunikasi karena bahasanya memang berbeda bahkan meskipun kata-kata yang dipakai adalah kata-kata bahasa Indonesia, India, Inggris, Italia, Irlandia, dan I I I lainnya. Salah satu kalimat untuk mengujinya dalam bahasa Indonesia: “Yesus itu Tuhan, tetapi bukan Allah.” Entah apa yang ada di kepala Anda, hanya Anda dan Tuhan Allah yang tahu, dan sangat mungkin yang ada di kepala Anda berbeda dari yang ada di kepala tetangga Anda, bahkan kalau Anda seagama dengannya…
Teks bacaan Injil hari ini dibuka dengan introduksi buku, yang sebetulnya bunyinya agak aneh sebagai suatu introduksi karena diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah. Mosok iya Anda tulis skripsi dimulai dengan kalimat “Inilah permulaan skripsi tentang bla bla bla”? Pasti dicoret oleh pembimbing skripsi Anda. Kalau tidak, sebaiknya Anda coret pembimbing skripsi Anda itu.
Dalam bahasa Yunani ada kata “arche” yang dalam filsafat dimengerti sebagai prinsip dasar realitas, yang darinya muncul prinsip-prinsip lainnya. Tentu, susah payah manusia memahami apa arche itu: api, air, tanah, udara, cinta, benci, dan seterusnya. Orang beragama ambil gampangnya: arche itu adalah Allah.
Jadi, dalam nuansa seperti itulah teks Injil ini dimulai: si penulis mau menegaskan suatu prinsip dasar kabar gembira yang lain daripada yang lain. Nota bene, Injil ini ditulis dalam situasi politik yang ngeri-ngeri sedap. Selama itu, orang ingat Kaisar Augustus bakal membawa pax romana, kedamaian di seluruh wilayah imperial Romawi. Lama kelamaan, ya ketahuan juga bobroknya dan ketegangan tak terhindarkan dan benarlah tahun 70 Masehi Yerusalem dihancurkan sampai luluh lantak.
Singkatnya, si penulis ini mau bilang bahwa prinsip dasar realitas itu adalah kabar gembira sungguhan, bukan tentang Augustus dan penggantinya, melainkan tentang Yesus Kristus, yang disebut Anak Allah itu.
Saya pernah singgung bahwa label ‘anak’ dalam dunia semitik lebih bermakna asosiatif daripada genetis. Jadi, meskipun wajah anak tetangga mirip plek persis dengan wajah Anda, kalau perilaku-sikap-sifatnya tak cocok dengan karakter Anda, Anda tak perlu khawatir dicurigai sebagai bapak atau ibunya. Yang dipersoalkan sebagai tolok ukur di sini bukan genetika atau DNA.
Dengan begitu, Anda kurang ngopi atau piknik jauh kalau masih berpikir bahwa Anak Allah itu maksudnya Allah beranak seperti hewan beranak. Kalau masih mau ngopi tambahan, mungkin baik juga dilihat keterangan yang disampaikan Yohanes Pembaptis yang bersaksi tentang Yesus Kristus, Anak Allah itu.
Julukan Kristus itu berasal dari bahasa Yunani untuk menerjemahkan Mesias; dan Mesias itu maksudnya dia yang terurapi; dan pengurapan untuk penobatan raja itu dilakukan dengan minyak, bukan dengan air.
Nah, Yohanes menegaskan begini: aku membaptis kamu dengan air, tetapi dia akan membaptismu dengan Roh Kudus. Piye jal, membaptis dengan Roh Kudus; dengan aji-aji ajian Serat Jiwa Brama Kumbara dan memindahkan roh ke sana kemari? Dagelan aja kalo gitu mah.
Mari kita bikin percobaan. Kertas putih kita perciki dengan air dan satunya kertas putih kita perciki dengan minyak yang dipakai untuk pengurapan raja. Tunggu sampai kering. Manakah yang bekasnya jauh lebih kentara?
Membaptis dengan air: cuma luarnya doang, ritual, formal baptis, proselitisme. Hampir tak berbekas. Minyak lebih permanen bekasnya, dan begitulah maksud pengurapan,, maksud yang terurapi, maksud Mesias bin Anak Allah: bahwa perkataan-sikap-sifat-perilaku Allah itu lebih permanen dalam dirinya.
Singkatnya, balik lagi, seruan tobat Yohanes juga berujung pada perkara mengadopsi sifat-sifat Allah secara lebih permanen dan dengan begitu setiap orang, seperti Yesus, menjadi Anak Allah.
Tuhan, mohon rahmat keheningan batin supaya kami dapat mencerna dan menghidupi sifat-sifat-Mu yang pengasih dan penyayang. Amin.
MINGGU ADVEN II B/2
10 Desember 2023
Yes 40,1-5.9-11
2Ptr 3,8-14
Mrk 1,1-8
Posting 2020: Obat Tobat
Posting 2017: Bukan Sekadar Gosip
Posting 2014: Ngapain Jadi Pertapa?
