Sat Set

Published by

on

Percaya atau tidak, dalam teks Perjanjian Lama ada 178 kali ungkapan seperti yang dilontarkan Maria dalam teks bacaan hari ini, yang kira-kira kalau di-Inggriskan jadi “Here I am!” gitu deh. Ini berhubungan dengan bagaimana tokoh-tokoh itu menjawab panggilan Allah dengan segala variasinya. Yang pernah saya pakai sebagai moto waktu lulus SMA dulu: Ini aku, Tuhan, utuslah aku. Zaman now pasti gak model kayak gituan lagi; gak ada moto, adanya micin.

Saya tak ingat apakah pernah saya bagikan di blog ini. Saya mendapati petugas kebersihan di sebuah kota yang tentulah kerjanya membersihkan fasilitas umum di kota itu. Gajinya seribu dua ratus rupiah dikalikan kurs mata uang Uni Eropa. Apa kerjanya? Ya itu tadi, misalnya membersihkan jalan. Konkretnya, main mobil-mobilan ke sana kemari dan kendaraan itulah yang menyapu dan mengumpulkan sampah jalanan dan si pekerja ini tinggal memindahkannya ke bak penampungan sampah. Ia tak perlu turun dari mobil dan memakai sapu lidi atau ijuk dan mondar-mandir menyapu jalan.

Menariknya, hampir tak pernah saya jumpai operator road sweeper truck itu adalah orang berkewarganegaraan negeri itu. Orang-orang mudanya memilih kerja kantoran. Mengapa? Entahlah. Tetangga kamar saya dulu bilang: karena pekerjaan itu terlalu rendah untuk mereka, biar dikerjakan petugas part#eh saja.

Nah nah nah, jangan-jangan, pola pikir seperti itu terjadi juga dalam tafsir narasi tanggapan Maria dalam teks hari ini. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu.” Dalam pola pikir seperti itu tadi, hamba atau petugas kebersihan atau petugas part#eh itu rendahan, dan siapa yang menerima tugas itu berarti rendah hati atau direndahkan.

Semoga Anda tidak tergolong mereka yang merendahkan petugas atau hamba atau asisten atau istilah lainnya. Semoga Anda tidak membaca tanggapan Maria sebagai teladan kerendahhatian. Ini tidak berarti Maria bukan teladan kerendahhatian, tetapi jawaban “Aku ini hamba Tuhan” menunjukkan suatu ketulusan, totalitas, kesiapsediaan, komitmen, dan semacamnya. Mari kita cermati nuansa jawaban Maria itu.

Sejak kecil saya dibiasakan untuk menjawab “Dalěm” [konsonan ‘d’ lembut] atau “Kula” ketika orang (yang lebih) tua memanggil nama saya. Kalau di-Indonesiakan ya jadi “Saya” gitu deh. Artinya, bukan sekadar afirmasi nama, saya mendengar panggilan itu dan saya akan atentif terhadap si pemanggil. Begitu kiranya yang dikatakan Maria: sa(ha)ya ini hamba Tuhan.

Lha, sekali lagi, hamba Tuhan sama sekali tak berkonotasi rendah. Ini adalah atribut bergengsi dalam hidup yang connect dengan Tuhan. Hanya orang-orang yang meletakkan totalitas hidupnya kepada Allah, sebagaimana prinsip tawhid dalam Islam, yang cocok memakai atribut ini. Dalam Perjanjian Baru, tampaknya hanya Maria yang memakai atribut ini; yang lainnya adalah cowok-cowok. Sepertinya, ini gelar disematkan oleh jemaat perdana kepada sosok yang begitu tadi: siap sedia secara total merealisasikan kehendak pemanggilnya.

Lha trus kenapa judulnya Sat Sět , Rom, tendensius amat?
Ya Anda boleh tak percaya, judul itu sudah saya ketik jauh-jauh hari dulu (dua taon lalu sat set sempat trending), berhubung dengan tetangga yang sedikit-sedikit panggil saya “Set” dan setelah itu mesti ada suatu permintaan tolong. Saya tidak marah, cuma gemoy dari tadi “satset satset” aja gak sekalian bilang minta ini itu di awal.

Tuhan, mohon rahmat kesiapsediaan untuk mendengar panggilan-Mu dan mewujudkannya dalam satset kami. Amin.


MINGGU ADVEN IV B/2
24 Desember 2023

2Sam 7,1-5.8b-12.14a.16
Rm 16,25-27
Luk 1,26-38

Posting 2020: Menyingkap Kerecehan
Posting 2017: Rumah Rakyat Nol Persen

Posting 2014: Plesetan Allah

Previous Post
Next Post