Petruk

Published by

on

Jika Anda mengalami masa Orde Baru, tidak perlu jadi orang Kristen untuk tahu apa artinya Petrus: penembak misterius. Kalau Anda berani macam-macam bikin ulah, bikin gara-gara, bikin kacau, jadi preman yang meresahkan ketertiban umum, bisa jadi suatu hari Anda mesti rela meninggalkan tubuh Anda yang sudah didor di jalanan. Sebagai anak yang suka film pahlawan, tentu saja saya senang melihat Petrus menertibkan kehidupan masyarakat. Jagoan harus menang. Kebenaran harus ditegakkan.

Senaif itulah saya di zaman Orde Baru; cuma bisa melihat layar hitam putih dan dunia ini saya pandang secara hitam putih semua. Padahal, tidak semua hal adalah hitam putih, bukan? Tentu ada merahnya dong, wkwkwkwkwk. Nyatanya, di tahun ’96 itu saya mendapati merahnya Megaria, selain karena atribut partai, ada darah juga yang berceceran di dekatnya. Tidak semencengkam ’65 mestinya, tetapi peristiwa itu mengubah cara pandang saya.

Bacaan pertama hari ini ditutup dengan kalimat: Ingatlah, bahwa hidupku hanyalah hembusan nafas; mataku tidak akan lagi melihat yang baik.
Mungkin begitulah mata saya: tidak lagi melihat yang baik. Kenapa? Karena hidup saya hanyalah hembusan nafas.

Syukurlah, setelah Orde Baru, saya tak lagi melihat hidup saya hanya sebagai hembusan nafas dan bacaan ketiga hari ini membantu saya untuk mengerti apa maksudnya berdoa tanpa terjebak pada ritualisme agama. Betul, bangsa ini sudah sejak lama dikungkungi aneka ritual agama, tetapi bisa jadi itu semua tak juga membawa orang untuk berdoa. Aneh kan, tapi memang begitulah adanya.

Selama saya hidup di benua lain, saya tidak terbiasa mendengar suara azan, tetapi saya tahu jam-jam tertentu ada lonceng berbunyi. Keduanya sama-sama memanggil mereka yang percaya untuk berdoa bersama. Akan tetapi, apakah mereka yang terpanggil itu berdoa bersama? Ya mboh, bergantung pada bagaimana Anda mendefinisikan doa bersama. 

Yang dinarasikan dalam bacaan ketiga ialah bahwa Yesus pagi-pagi benar bangun dan pergi ke tempat sunyi untuk berdoa. Entah gimana berdoanya, penulis teks itu hanya mencatat bahwa murid-muridnya menyusul dan Petrus mengupdate situasi: semua orang mencari engkau!
Apa tanggapan orang yang baru saja berdoa? “Mari kita pergi ke tempat lain untuk memberitakan warta pembebasan, karena untuk itulah aku datang.”

Kelak, Petrus ini jadi representasi murid yang dihardik gurunya karena cara pikirnya tak juga beranjak dari cara pikir popularitas, hukum rimba, dan sejenisnya. Ini jelas berseberangan dengan cara pikir gurunya yang senantiasa cari cara untuk memerdekakan orang supaya bisa jadi manusia utuh.

Kalau kita tarik ke belakang cerita sebelumnya, kita dapati pola warta pembebasan itu. Yang tadinya sakit, lantas disentuh dia yang berdoa itu, dan terjadi transformasi: Yang semula membutuhkan perhatian, lalu malah memperhatikan; yang semula butuh dilayani, lantas malah melayani; yang semula tak bisa bergerak, lalu jadi bebas bergerak. Persis itulah kiranya doa yang disodorkan Yesus: membuat orang mampu melihat sebagaimana kiranya Allah melihat hidup ini. Bukankah begitu maksudnya prinsip tauhid? Bukankah itu yang dimaksud Yesus sebagai Kerajaan Allah?

Supaya mata orang sinkron dengan mata Allah sendiri; orang berdoa. Ritual bisa membantu doa, asal tidak jatuh sebagai ritualisme. Tapi ya begitulah nasib manusia: lebih mudah jatuh dalam ritualisme. Tak mengherankan, bantuan sosial pun bisa jadi ritual politik, dan tak pernah bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mungkin begitu juga jika Petruk jadi ratu.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu berdoa, memandang kenyataan hidup kami sebagaimana Engkau menghendakinya. Amin.


HARI MINGGU BIASA V B/2
4 Februari 2024

Ay 7,1-4.6-7
1Kor 9,16-19.22-23
Mrk 1,29-39

Posting 2021: Komorbid
Posting 2018: Kartu Kuning

Posting 2015: God Sees the Truth but Waits…

Previous Post
Next Post