Mengapa mager? Karena orang cari upah dari luar dirinya alias kurang mencintai dirinya sendiri (tur ya durung karuan ngerti cinta ki piyé🤭). Mager sudah pernah jadi judul tulisan di blog ini sekitar tiga minggu lalu. Teks bacaannya juga sama. Pada posting itu saya katakan bahwa sehebat-hebatnya blokade biologis (sakit ini itu) tidaklah lebih parah akibatnya daripada jika punya komorbiditas berupa blokade mental. Nah, kalau mau jatuh tertimpa tetangga, sudah mager lalu ketambahan komorbiditas lain bernama akrasia alias kelemahan kehendak. Ancur bin ambyar. Jenis roh jahat ini sangat sulit dienyahkan. Lha piyé jal, untuk mengusirnya, orang butuh mohon rahmat, tetapi kalau untuk mohon rahmat saja orang gak mau, ha njuk kepriwèk?😅
Saya kopikan pesan dari teman dosen deh:
Kala orang malas berpikir, sifat impulsifnyalah yang bermain dan seluruh tingkah lakunya ditentukan oleh perasaannya sendiri. Situasi sekitar mesti menyesuaikan dengan perasaannya. Di akhir obrolan whatsapp itu tampaknya si mahasiswa hendak belajar jadi peka terhadap perasaan dosennya, tetapi apa ya nilai itu bergantung pada perasaan dosennya sih? [Beberapa dosen ada sih yang kek gitu😂]
Saya mau menghubungkannya dengan realitas mager tadi: saat orang tak mencintai dirinya sendiri, mencari ‘cinta’ dari luar, bukan dari proses internal dirinya sendiri. Pada momen itu, hidup ini terasa berat, menyebalkan, sulit, ambyar, dan sejenisnya. Ini beda dari apa yang diserukan Paulus dalam teks bacaan kedua: upahku ialah bahwa aku boleh menebarkan kabar gembira tanpa upah! Apakah ini perkara UMR atau UMK atau standar gaji PNS? Pasti bukan. Paulus tidak sedang bicara dalam level manajemen sosial; ia bicara mengenai manajemen diri.
Percayalah pada siapa, hanya orang yang mencintai dirinya sendirilah yang terbebas dari komorbiditas mager atau bahkan akrasia tadi. Persoalannya ialah bahwa orang mereduksi cinta sebagai perasaan belaka sehingga mencintai diri sendiri diidentikkan dengan menyenangkan diri sendiri. Orang seperti ini akan kesulitan mengalami kebahagiaan tanpa syarat karena perasaannya diaduk-aduk oleh apa yang ada di luar dirinya. Fokusnya senantiasa pada hasil tanpa pernah enjoy terlibat dengan proses jatuh bangun yang dilaluinya. Ya seperti mahasiswa tadi: ‘perasaan’ aku dah berusaha maksimal loh; seakan lupa bahwa selama kuliah online dia nyambi chat, tak membaca materi, tak punya catatan, dan seterusnya. Yakin saya, orang seperti ini selalu mencari motivasi dari luar dirinya, alih-alih dari cinta Allah dalam hidupnya, dalam dirinya sendiri.
Ya Allah, mohon rahmat supaya hidup kami boleh jadi ikon cinta-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA V B/1
7 Februari 2021
Ay 7,1-4.6-7
1Kor 9,16-19.22-23
Mrk 1,29-39
Posting 2018: Kartu Kuning
Posting 2015: God Sees the Truth but Waits…
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.