Setiap kekejaman lahir dari kekerasan hati dan kelemahan. Konon begitu kata filsuf Seneca. Betul juga ya, tak ada orang kejam yang hatinya lembut. Kalau tak percaya, coba ambillah hatinya orang kejam, pasti keras, eaaaa…. Akan tetapi, bagaimana mau mengamini bahwa kekejaman itu lahir dari kelemahan? Bukankah orang-orang kejam ini identik dengan kekuatan, otot, senjata pembunuh, kematian? Bukankah justru karena mereka punya kekuatan, bukan kelemahan, lantas jadi kejam? Ya jelas tidak. Nyatanya ada orang kuat yang tidak kejam. Nyatanya ada presiden sah yang tidak main hantam orang yang mempublikasikan hate speech. Nyatanya ada pimpinan militer yang tidak menghabisi orang-orang yang merusak tatanan masyarakat. Nyatanya ada partai kuat yang toh masih mau menempuh jalur konstitusional.
Maksud saya, tidak ada relasi langsung antara kekuatan dan kekejaman. Masih ada faktor lainnya. Seneca adalah filsuf yang tentu saja gak memikirkan kehidupan secara dangkal. Maka, kalau ia katakan kekejaman itu lahir dari kelemahan, arti kelemahan di sini tentulah bukan kelemahan yang diukur pertama-tama oleh otot, senjata, atau hal-hal material lainnya. Untuk memahaminya, mari kita lihat adegan yang disodorkan teks hari ini. Ini adalah provokasi orang gila dari Nazaret. Di tempat ibadat itu ada orang yang lumpuh sebelah tangannya yang, sesuai dengan adat hukum, tersingkirkan dan tak bisa beribadat seperti orang-orang lainnya. Tokoh sableng kita memintanya berdiri di tengah dan melontarkan pertanyaan kepada orang-orang Farisi dan orang Herodian dengan pertanyaan nakal bin cerdas: mana yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?
Hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti itu, orang-orang Farisi dan Herodian itu tak punya kekuatan hati alias letoy bin lemah! Mereka sosok-sosok yang ingin kuasa tetapi tak punya kekuatan kehendak untuk memilih (kebaikan). Itulah akrasia (ἀκρασία), kelemahan kehendak, tanpa kekuatan, tak berdaya menata diri, meskipun menginginkan kekuasaan! Begitulah paradoks yang dihidupi banyak orang: mau menguasai orang lain tapi tak mau menguasai diri sendiri. Tahu mana kebenarannya, tapi tak mau merealisasikannya. Di hadapan tokoh sableng kita, karakter ini bukan karakter kuat. Dalam kacamata Seneca, ini adalah sosok lemah, yang begitu mudah membiarkan diri masuk dalam lingkaran kekerasan, kekejaman.
Tindakan tokoh sableng kita menyembuhkan orang lumpuh itu jelas membakar orang-orang pengidap akrasia untuk mengadakan persekongkolan politis. Menghadapi persekongkolan macam ini memang orang perlu perhitungan, tetapi perhitungan itu tak berarti orang terus menerus berdiam diri tanpa menyuarakan kebenarannya. Provokasi dan tindakan Yesus hari ini sangatlah vokal supaya orang benar-benar melek akan kebenaran yang tidak bisa dibungkam hanya oleh persekongkolan politik. Kebenaran memang menyakitkan! Itu yang bikin orang lebih doyan akrasia. Orang itu adalah kita.
Tuhan, mohon keinginan supaya kami menginginkan kebaikan bersama dan keberanian untuk menyatakannya dalam hidup kami. Amin.
RABU BIASA II A/1
18 Januari 2017
Posting Tahun C/2 2016: Otak SNI
Posting Tahun B/1 2015: Kita Mesti Telanjang
Categories: Daily Reflection