Saya tahu ada keluarga yang setiap akhir pekan selalu entah ke mana untuk berakhir pekan. Setelah penat bekerja, keluarga ini senantiasa meluangkan waktu ke puncak atau bukit atau lembah atau pantai atau mana lagi selama akhir pekan. Tidak melupakan kewajiban religius juga. Keren, bukan? Serupa dengan itu, saya tahu di belahan dunia lain, ada orang yang bekerja keras selama sepuluh bulan dan dua bulan sisanya dipakai untuk liburan. Bekerja mengumpulkan pundi-pundi untuk liburan keluarga. Ini juga joss, kan? Sangat cool, menurut saya, kecuali kalau itu hanya jadi rutinitas dan kompulsif sifatnya. Meskipun tempatnya bervariasi, jika itu selalu berarti “wajib” bin “kudu”, ada bahaya bahwa rutinitas itu does not make any sense.
Teks bacaan hari ini mengindikasikan perlunya istirahat sejenak untuk memberi makna atas apa yang sudah dikerjakan para murid. Setelah diutus Guru, mereka kembali dan menceritakan apa yang telah mereka ajarkan dan kerjakan. Sang Guru mengajak mereka menyepi, meskipun toh akhirnya tetap juga orang banyak mengikuti mereka. Dari situlah saya mengerti bahwa istirahat bukanlah liburan untuk lari dari kefanaan. Yang contingent itu comes and goes, menghampiri mereka, sampai-sampai makan pun mereka tak sempat.
Kalau begitu, pergi ke tempat sepi sendirian adalah ungkapan untuk menunjukkan intimitas Guru dari Nazareth dan murid-muridnya. Intimitas relasi Guru dan murid ini bisa juga diberi label: doa. Ini bukan repetisi mantra atau pengulangan ritual agama tertentu, melainkan momen reflektif untuk melihat apakah yang diwartakan dan dikerjakan orang beriman itu sinkron dengan kabar baik dari Tuhan, atau semata-mata hanya rangkaian perilaku impulsif mengikuti prinsip like-dislike.
Dengan demikian, kalau kemarin-kemarin sudah saya singgung sederhananya tujuan hidup orang beriman, istirahat pun sederhana: melihat “bersama Tuhan” apa yang telah kita wartakan dan kerjakan. Tujuannya juga sederhana: kedamaian batin, serenity, ketenangan lantaran mendengarkan Allah dan tidak diombang-ambingkan oleh hiruk pikuk kefanaan. Dari situlah orang beriman dapat melihat hidupnya makes sense.
Kalau istirahat seperti ini tak dilakukan, percayalah pada siapa, hidup orang jadi impulsif dan kedamaian atau kebahagiaannya (untuk tidak menyebut cinta) jadi bersyarat karena elemen kesombongan, gengsi, iri hati, kecemburuan, kemarahan mendapat panggungnya ketika dunia berjalan tak sesuai dengan keinginannya. Kenapa bersyarat? Karena ada syaratnya: baru tenang jika orang lain tidak begini atau begitu seturut keinginannya. Boro-boro mengatakan “Terjadilah padaku seturut perkataan-Mu”, untuk mengatakan “Let it be” pun mungkin susah.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk hidup senantiasa bersama-Mu. Amin.
SABTU BIASA IV B/1
Pw S. Paulus Miki dkk
6 Februari 2021
Ibr 13,15-17.20-21
Mrk 6,30-34
Posting 2019: Dipenjara Brizieq
Posting 2017: Terbalik Nèng!
Posting 2015: Doa Bukan Pelarian Br0w!
Categories: Daily Reflection