Saya punya seorang paman yang bukan anggota MK. Sewaktu saya masih setinggi 58 cm, dia mengajak saya ke pematang sawah sampai kami tiba di sumber air yang sangat jernih. Sumber air itu sudah dibuatkan tepian yang ditembok dengan beberapa pegangan seperti anak tangga untuk turun ke bawah. Om saya meminta saya menunggu di pinggiran sumber dan ia menyelam, menuruni tangga yang sepenuhnya ada di dalam air itu. Perlahan-lahan saya lihat kepala Om saya turun sampai akhirnya saya tak dapat lagi melihat tangan dan kepalanya. Saya berjongkok dan mencoba mengamati kalau-kalau Om saya naik lagi.
Akan tetapi, saya mulai cemas bahwa Om saya ini tak kunjung kelihatan. Saya berteriak memanggil Om saya berharap ada gerakan dari sumber air jernih itu, tetapi benar-benar tak ada harapan. Ketika saya takut dan khawatir itu, tahu-tahu ada orang yang memanggil dan menepuk bahu saya:
Om saya sudah berdiri di belakang saya!
Saya tidak heran kalau ada yang menanyakan setelah Yesus itu mati, dia ke mana sampai bangkit lagi. Itu seperti saya juga bertanya ke mana Om saya pergi setelah turun ke sumber air. Masalahnya, Om saya itu belum mati🤤. Itu artinya, bisa dijawab dengan usaha tertentu untuk menjelaskan bagaimana dia bisa masuk ke dalam sumur sumber air dan kemudian nongol di belakang saya. Lain perkara jika Om saya itu mati di dalam sumber air itu, pertanyaan “quo vadis” alias “kamu (mau) ke mana” tak akan terjawab. Saya bisa temukan jenazahnya, tetapi saya tak tahu dia ke mana.
Orang beragama bisa menjawabnya dengan aneka variasi lokasi: syeol, neraka kecil, persiapan reinkarnasi, limbo, purgatorium, dan sebagainya. Silakan Anda pilih sendiri seturut keyakinan Anda, tetapi saya sarankan: sebaiknya jangan memahaminya sebagai suatu ruangan. Kenapa? Karena kalau itu berupa ruangan, pasti akan terikat waktu, dan apa saja yang terikat ruang-waktu, tak akan bisa membantu kita mengerti kebangkitan. Kenapa? Karena nanti ujung-ujungnya kalkulasi matematis, dan itu bisa mengaburkan pokok sesungguhnya.
Contoh. Angka 127 trilyun itu bisa jauh lebih berbunyi daripada seribu rupiah. Artinya, 127 trilyun lebih berharga. Itu seperti saya memberikan uang parkir mobil dua ribu rupiah [dan memang segitulah tarifnya] dan tukang parkir [yang duitnya banyak dengan modal nol rupiah] meminta saya untuk membawa saja dua ribu rupiahnya itu [alih-alih bilang kurang atau minta tambah; mentalitas asem tenan og; dia kira orang cari dua ribu rupiah segampang dia cari!].
Alhasil, karena angka itu fantastis, orang baru meributkan korupsi. Lebih jelek lagi, media mulai memberi warta dengan mengobjekkan orang: alih-alih sebut nama pelaku, yang dihighlight malah istri, anak, atau kerabat pelaku (yang mungkin lebih terkenal dan mungkin tertipu atau tak tahu menahu duduk perkaranya).
Padahal, entah Anda korupsi 127 trilyun atau 2000 rupiah, itu sama-sama menunjukkan mental korup Anda; soal angka, itu hanya bergantung pada ruang waktunya. Itu mengapa, pemimpin yang dulu saya puji dan harapkan bisa melakukan revolusi mental, tampaknya menikmati angka-angka dan presentasi kesuksesan, dan entah ke mana revolusi mentalnya.
Jadi, gimana jawab pertanyaan ke mana Yesus pergi setelah mati, Rom? Kan dia mesti tunggu sekitar 36 jam baru boleh bangkit lagi? Kongko-kongko dengan malaikat? Oles-oles balsem pegal linu? Runyam kan? Belum lagi jika ini ditambah persoalan dengan keyakinan lain bahwa dia tidak mati di salib; ke mana aja dia, cari warnet atau kejar ayam penyet?
Nah, soal dia mati atau tidak, biar diurus oleh para ahli forensik. Saya secara pribadi tidak bertitik tolak pada wafatnya, melainkan pada kebangkitannya. Dengan begitu, pernyataan dalam syahadat bahwa dia ini menderita dan disalibkan pada masa pemerintahan Ponsius Pilatus, itu hanya berarti bahwa Yesus yang disebut Kristus itu adalah makhluk historis, bukan tokoh dongeng. Wafat hanyalah konsekuensi dari kebangkitan, yang saya imani, bukan sebaliknya (kebangkitan adalah konsekuensi kematian). Nah, yang kek gini mana mungkin dipikirkan dengan konsep ruang-waktu, bukan?
Lah, bukankah emang gitu? Bukankah gitu urutannya, kronologinya? Ada juga orang mati dulu baru bangkit, Mo, mosok bangkit dulu baru siap-siapin kubur buat mati?! Yesus sendiri juga mengatakan begitu, kan: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24)? Selain itu, bukankah Romo juga menengarai sebagian orang mesti kepentok dulu baru sadar dan tobat?
Haiya, justru itu bukanlah pengertian tobat atau kebangkitan! Sudah saya singgung di posting ini.
Anda perlu ganti (kaca) mata untuk melihat misteri kek gini. Kalau Anda tak bisa menanggalkan cara berpikir linear dengan kronologi atau urutan tertentu, mungkin perlu membalik urutannya. Yesus tidak kepentok dulu baru tobat; dah telat tobatnya kalo gitu mah (wong kepentoknya sampai mati); sebaliknya, ekspresi pertobatannya berujung kepentok! Solidaritasnya dengan mereka yang terdiskriminasi, mereka yang terpenjara, yang tertindas, itu bikin status quo agama maupun penguasa politik meradang dan berujung ke peristiwa menyengsarakan.
Kalau gak tobat, dia pastilah adem ayem aja keliling Galilea mengajarkan nasihat-nasihat suci yang bikin orang juga adem ayem dengan stabilitas politik yang jos dan warga Palestina tetaplah tercekik; tak usah repot-repot menafsirkan Kerajaan Allah bin keadilan sosial; tak usahlah dia peduli dengan orang-orang di luar bangsa Israel.
Lagipula, jangan lupa, itu tulisan Yohanes adalah bagian refleksi mengenai kebangkitan sosok yang diikutinya, bukan kematiannya. Mengenai kematian, jelas dalilnya toh, semua manusia ya mati.
Jadi gimana sih, Rom? Yesus itu ke mana setelah wafat, sampai Minggu dini hari dia ke mana?🤤
Emboh, mungkin ke dunia orang mati untuk membongkar penutup kompleks kematian orang-orang zaman jebot yang sudah mati. Saya ragu bahwa untuk itu dibutuhkan waktu 38-40 jam. Yang jelas, narasi kebangkitan mengatakan bahwa orang-orang yang mencarinya itu cuma mendapati “kain lenan” putih saja seperti beberapa saat sebelumnya para pamong praja atau prajurit cuma berhasil menangkap “kain” yang dikenakan murid yang kabur bertelanjang ria.
Mengerti misteri kematian dengan perspektif seperti saya tadi bertanya-tanya di mana Om saya hanya akan berujung menjadikan Yesus Kristus sebagai objek: tak lebih dari “kain lenan”, seonggok daging, mayat, jenazah, sel-sel mati tubuh, dan seterusnya. Mengerti misteri kematian mungkin mengenyangkan budi, tetapi memahami misteri kebangkitan kiranya lebih memuaskan hati yang terus menganyam jawaban “quo vadis”: ke mana, bagaimana aku pergi, apa yang kukejar, apa yang kuharapkan, makna hidup apa yang kuhidupi, seberapa langgeng kebahagiaan yang kucari, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat menghidupi kebangkitan dalam dunia yang bahkan mungkin tak memberi harapan. Amin.
MALAM PASKA B/2 (Vigili)
30 Maret 2024
Kej 1,1.26-31a
Kej 22,1-18
Kel 14,15-15,1
Yes 54,5-14
Yes 55,1-11
Bar 3,9-15.32-4,4
Yeh 36,16-17a.18-28
Rm 6,3-11
Mrk 16,1-8
Posting 2018: Agama Paska
Posting 2015: Don’t Worry, Be Happy (Easter)
