Saya masih melanjutkan uneg-uneg Pak Romo Berpolitik, bukan untuk membela Pak Romo, melainkan untuk memotivasi diri sendiri di tengah-tengah absurditas tahun politik. Uneg-uneg saya sejak awal masa puasa orang Katolik itu bukanlah perkara siapa pemenang pemilu, melainkan bagaimana kemenangan itu diperoleh; dan, saya kira, itu bahkan tak bisa dijawab oleh MK karena perkara substansialnya tinggal dalam diri setiap pemilih: apa yang dikejarnya, ideologi apa yang dipegangnya, apakah ada unsur keterpaksaan, hutang budi (keterpaksaan yang tak disadari), baperan, dan seterusnya. Artinya, hasil pemilu, entah berapa pun kadar kecurangannya, ditentukan oleh kondisi pemilihnya sendiri; dan itulah yang bikin saya beruneg-uneg setelah awal puasa dimulai: urusan pragmatis menang-kalah memang jauh lebih populer daripada ideologi.
Dalam kondisi begitu, bukan hanya rakyat jelantah yang tertatih-tatih, melainkan juga tanah air dalam arti literal berpotensi merana. Acuan saya terbatas: petani organik seret penggemar (wong yang nonorganik saja merayap). Lha iyalah, mana yang lebih cepat memberi hasil aja yang dibikin, ngapain repot-repot mikirin ideologi ekologi, kesinambungan, dan keadilan? Berita pada tautan ini tentang pemutihan lahan sawit yang dikelola ribuan perusahaan ilegal (tidak sesuai dengan hukum kok malah dilegalkan ki piye jal?) barangkali bisa jadi contoh pragmatisme juga. Alih-alih mengupayakan hukum yang memperhitungkan faktor ESG (Environmental, Social, Governance), malah bikin aturan untuk melepaskan hutan jadi lahan legal sawit. Alasannya pragmatis: supaya dunia internasional tidak menganggap Indonesia melakukan deforestasi atau supaya kapital cuan tak terganggu.
Teks bacaan hari ini tentulah tidak bicara mengenai politik praktis, tetapi itu tak berarti dimensi politik absen. Mari kita lihat baik-baik bacaan ketiga yang kerap memojokkan Tomas rasul sebagai orang yang sulit atau kurang percaya. Penulis teks Yohanes ini mulai menulis narasinya di sekitar tahun 95. Komunitasnya kemungkinan besar adalah generasi ketiga pengikut Yesus dari Nazareth; jadi mereka tak pernah jumpa dengan sosok Yesus dari Nazarethnya sendiri; paling banter, mereka mungkin pernah ketemu dengan murid Yesus.
Komunitas ini sebetulnya mengalami kegalauan hebat mengenai gaya hidup yang mereka jalani: gimana mereka bisa yakin bahwa Yesus dari Nazareth itu bangkit seperti dialami oleh para rasulnya? Kenapa pengalaman para rasul itu tak terjadi juga dalam hidup komunitas mereka ini? Gimana membuktikannya?
Nah, tampaknya si penulis teks ini hendak membantu komunitasnya menghadapi kegalauan macam itu dan dia ambillah tokoh Tomas, yang disebut juga Didimus, dan Didimus itu artinya kembaran. Maksudnya, ini bukan soal Tomas rasul saja, melainkan juga soal yang dihadapi kembarannya, alias orang-orang lain yang mengikuti Yesus dari Nazareth itu. Itu juga berarti Anda semua, yang mengalami keraguan atau kegamangan dalam hidup beriman, khususnya untuk menghidupi kebangkitan.
Kenapa Tomas ini sulit percaya? Kondisi apa yang membuatnya ragu-ragu? Jawabannya jelas: dia memisahkan diri dari komunitasnya, apa pun alasannya, bagaimana pun bentuknya. Mungkin kecewa karena keadaan komunitasnya, agamanya, gerejanya, hirarkinya, omongan kasar orang-orangnya, atau bahkan karena jebulnya banyak kebobrokan dalam agamanya, main rebutan kuasa, klerikalisme, dan sebagainya.
Akan tetapi, penulis teks tampaknya tidak menyejajarkan Tomas dengan sosok yang meninggalkan komunitasnya karena menganggap dirinya lebih bersih dari yang lain atau berpretensi membersihkan komunitasnya. Ia hanya tidak paham dengan absurditas dalam kelompoknya sehingga toh meskipun ia memisahkan diri, ia tetap kembali lagi. Dalam arti tertentu, ia menderita karena ketidakpercayaannya: bagaimana mungkin komunitas yang hendak mengikuti Yesus dari Nazareth itu hidupnya tak seperti dulu kelompok murid-murid pertama Yesus dari Nazareth?
Pada momen dia kembali ke komunitasnya, ia mengalami kebangkitan. Artinya, orang bisa saja mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam doa pribadi, pengalaman pribadinya sebagai orang Kristen, Katolik, Islam, Budha, Hindu dan seterusnya, tetapi jika ia mau melihat kebangkitan, ia mengalaminya dalam kebersamaan dengan komunitasnya. Wujudnya bagaimana, silakan cari sendiri ya; saya melihat Ekaristi jadi salah satunya.
Menariknya, pengakuan yang dilekatkan pada mulut Tomas ini kadang dipakai oleh sebagian pengkhotbah atau pembela agama untuk merepotkan diri dengan pernyataan bahwa Yesus adalah Allah, sesuatu yang jelas-jelas melanggar prinsip tauhid dalam Islam yang tentulah dimengerti sebagai kenyataan universal. Saya tidak hendak masuk ke sana, terlalu sempit ruang-waktu ini, dan mencukupkan diri dengan kenyataan bahwa Allah tak mungkin dikurung oleh rumusan bahasa manusia yang terbatas. Kenyataan yang hendak ditunjuk oleh rumusan itu jauh lebih kaya daripada rumusannya sendiri.
Saya lebih tertarik melihat konteks pengakuan Tomas itu dalam keseluruhan kitab yang dinamai Injil Yohanes itu. Si penulis tanpa ragu mengatakan bahwa tak seorangpun pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya (Yoh 1,18 ITB). Saya tidak lupa, kalimat itu bukanlah Sabda Allah (karena Sabda Allah itu adalah Yesus Kristus, bukan teks Injilnya). Kalimat itu adalah rumusan dari inspirasi yang diterima penulis teks ini: Allah yang tak kelihatan itu menunjukkan wajah-Nya dalam sosok Yesus Kristus.
Pada zaman penulis teks ini hidup, yang berkuasa di Roma adalah Kaisar Titus Flavius Domitianus (domitsianus kali ya bacanya). Ini seorang megalomania, merasa dirinya begitu agung dan berusaha membangun kultus untuk memujanya: di mana-mana didirikan kuil dengan patung-patungnya dan warga dituntut untuk menyembah patungnya sebagai Allah di dunia ini. Konon, surat-suratnya dimulai dengan ungkapan kira-kira begini: Domitianus, Tuhan dan Allah kita, bertitah…..
Nah, penulis teks Yohanes itu rupanya melawan kultus individu terhadap Domitianus. Itu mengapa dia dibuang ke Patmos dan di sana dia mulai menuliskan refleksinya.
Ungkapan yang diletakkannya pada mulut Tomas itu seakan mau bilang begini: Sori ye, Tuhan dan Allah kita itu bukan elu!
Dia yakin bahwa Domitianus sama sekali bukan sosok yang menampilkan wajah Tuhan dan Allah di dunia ini. Wajah Tuhan dan Allah di dunia ini, bagi komunitas penulis teks Yohanes ini adalah Yesus dari Nazareth yang bangkit dan dialami oleh murid-muridnya.
Jadi, penulis teks ini tidak menulis refleksinya dalam kerangka mempertentangkan Allah dan manusia atau apakah Yesus itu Allah atau bukan, tetapi mempertentangkan keyakinan populer megalomania yang menganggap dirinya Tuhan dan Allah.
Ajakan Yesus kepada Tomas bisa jadi juga ajakan kepada para pengikutnya untuk mengingat bagaimana sosok yang bangkit itu terlibat dalam politik, bukan untuk mencari kekuasaan ala megaloman fire, malah jadi bulan-bulanan kekuasaan dan menunjukkan apa yang sesungguhnya perlu diperjuangkan umat manusia dalam hidup ini, seperti kali lalu saya singgung pada posting Susahnya Puasa.
Tuhan, mohon rahmat untuk bertekun dalam menghidupi keadilan-Mu. Amin.
MINGGU PASKA II B/2
7 April 2024
Kis 4,32-35
1Yoh 5,1-6
Yoh 20,19-31
Posting 2021: (Jangan) Takut Ambyar
Posting 2018: Mau Jadi Jagoan?
Posting 2015: Anda Kembaran Tomas
