(Jangan) Takut Ambyar

Menjelang hari Jumat Agung yang lalu, di salah satu kantor pemerintahan ada baliho besar dengan tulisan: Selamat Memperingati Hari Kenaikan Isa Almasih (tertanggal 2 April 2021). Ini adalah karikatur pengertian kebanyakan orang di sini mengenai toleransi. Mboh apa isinya, yang penting saling menghargai [padahal di mana letak harganya ya kalau tak tahu isinya?🤭]. Tambah lagi ketika seorang menteri beberapa waktu lalu mengusulkan doa bergiliran. Reaksinya macam-macam, dan tentu saja toleransi muncul, tetapi ya itu tadi: mboh isinya apa, yang penting saling menghargai. Tapi tak usah dibahas panjang lebar perkara toleransi ini. Sudah saya sentil pada posting Tole Lan Si Plet.

Kembali ke baliho tadi, umurnya tak lama karena segera diganti dengan ucapan Selamat Paska[h] 2021, tanpa tanggal. Jadi, mungkin ya pembuat baliho atau pemberi ucapannya tidak tahu juga Kenaikan Isa Almasih itu kapan, Paska itu 2 April atau 4 April, dan seterusnya.
Akan tetapi, dari segi teologis, sebetulnya baliho pertama malah menarik. Kalau kebangkitan itu adalah perkara hidup dalam persekutuan dengan Allah, bukankah sesungguhnya itu bersamaan dengan wafatnya Isa Almasih ini? Bukankah itu juga kenaikannya ‘ke surga’? Alhasil, bukankah “bangkit pada hari ketiga” itu hanya mau mengatakan bahwa murid-muridnya baru pada hari ketiga menyadari kebangkitan Guru mereka?

Bahkan, setelah hari ketiga itu pun, para murid jebulnya ya masih belum benar-benar ngeh soal kebangkitan Sang Guru. Yohanes memaparkan bagaimana mereka tercengkam oleh pengalaman luka mereka sendiri, takut kepada orang-orang Yahudi [nota bene: yang menolak pewartaan Guru mereka; bukan setiap orang Yahudi] sehingga mesti mengunci diri. Tak tahulah mereka bagaimana mesti taruh muka mereka kalau ketemu orang Yahudi yang melakukan perundungan kepada mereka. Penampakan Sang Guru pun tidak semerta-merta melunturkan ketercengkaman dan ketakutan mereka. Mereka masih memegang konsep kebangkitan adalah perkara masuk dan keluar kubur. Ada benarnya, tetapi tak memadai untuk memahami makna kebangkitan Sang Guru ini.

Baru ketika menerima Roh Kudus, mereka akhirnya memiliki keberanian untuk keluar dari keterkungkungan mereka sendiri. Pada gilirannya mereka menyadari bahwa Sang Guru yang mereka ikuti itu memanifestasikan dirinya lebih kompleks lagi dalam keadaan masyarakat yang lebih njelimet lagi, komplet dengan aneka kesulitan, luka, sakit, dan sebagainya.
Ndelalahnya kemarin saya mendengar kisah bagaimana seorang ibu yang bahkan ‘hanya’ untuk beribadah saja mengalami aneka kesulitan, di negeri yang konon menunjung tinggi kebebasan beragama. Akan tetapi, kesulitan itu tak membuatnya mengunci diri, malah memancingnya mencari cara berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya yang berperilaku tak adil. Begitu pula seyogyanya agama, sudah sepantasnya terus mencari cara berkomunikasi dengan disiplin ilmu atau juga agama lainnya, tanpa perlu takut identitasnya ambyar.

Tuhan, mohon rahmat supaya kalkulasi material kefanaan kami tak menutup hati kami pada penyelenggaraan ilahi-Mu. Amin.


MINGGU PASKA II B/1
11 April 2021

Kis 4,32-35
1Yoh 5,1-6
Yoh 20,19-31

Posting 2018: Mau Jadi Jagoan?
Posting 2015: Anda Kembaran Tomas