Fuga non dà gioia

Fuga non dà gioia (bacanya fuga non dha’ joya; lari-dari-kenyataan tidak memberi kebahagiaan). Kenapa? Karena kebahagiaan itu soal memaknai kenyataan. Gimana memaknai kenyataan dengan lari darinya? Tak isa…

Teks cerita bacaan hari ini menyinggung orang-orang yang patah hati dan kecewa atas pengalaman cinta ilusif mereka. Sedikit latar belakang penulis(an)nya: seorang ahli medis di Antiokhia, yang join dengan pengikut Guru dari Nazareth itu sepuluhan tahun setelah peristiwa Paska. Dia tak pernah jumpa dengan Sang Guru sendiri; tak pernah ikut makan-makan, melihat mukjizatnya, mendengar khotbahnya, dan seterusnya. Semua cuma dia dengar dari orang lain. Dari Antiokhia, dia pindah ke Filipi, hidup bersama kelompok Gereja perdana.

Pada waktu itu, mereka dalam situasi krisis setelah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan; mereka kocar-kacir ke sana kemari dalam komunitas-komunitas kecil. Mereka terpinggirkan, terdiskriminasi, jadi korban perundungan, kalau bukan pembunuhan. Sebagian dari mereka tak tahan dengan krisis itu dan meninggalkan komunitas pengikut Guru dari Nazareth. Ke mana? Ya ke hidup lama bersama orang sekitar yang fasilitas kenyamanan hidupnya terjamin, sebagaimana dulu sebelum mereka mengikuti kelompok pengikut Guru dari Nazareth.

Bisa dimengerti kelelahan mereka. Bandingkanlah dengan cerita anjing dan kelinci pada tautan ini. Dalam situasi krisis itu, jemaat Lukas mempersoalkan keyakinan mereka sendiri: mungkinkah kita bisa berjumpa dengan Guru dari Nazareth yang dulu itu, ataukah asal percaya saja apa kata orang tentang Sang Guru itu?
Dalam rangka itulah Lukas menuliskan kisah tentang dua murid Emaus.

Dari dua murid itu cuma satu yang bernama: Kleopas. Yang satunya anonim: berarti slot undangan Lukas bagi Anda dan saya untuk masuk dalam kisah itu.
Saya singkat saja ya. Dalam masa krisis, dalam situasi ketidakjelasan, dalam suasana patah hati, orang bisa tergoda untuk lari kembali ke dunia lamanya, yang rupanya bikin nyaman. Perjumpaan dengan Sang Guru jadi nonsense karena orang terlanjur memupuk ilusi cinta butanya. Jangan kira murid-murid itu mencintai Guru mereka: mereka ‘mencintai’ ideologi, bayangan, harapan mereka sendiri pada kefanaan hidup ini.

Maka, dalam krisis, orang sebaiknya tidak kembali ke dunia lama, tetapi justru membuka diri pada dua hal, Sabda dan perjamuan (Ekaristi), untuk memaknai krisis.
Di sini pantas dipertimbangkan nasihat Ignatius dan Paulus. Ignatius bilang, pada momen krisis, jangan mengubah keputusan fundamental. Paulus bilang: sebagai saksi kebangkitan, carilah perkara-perkara di atas.

Tapi gimana mencari perkara-perkara di atas itu ya? Tak lain dari menjalani hidup biasa ini dengan terang kebangkitan itu. Konkretnya?
Mungkin akan saya bahas di posting lain.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan dan kesetiaan untuk mempersaksikan kebangkitan cinta-Mu yang memerdekakan. Amin.


HARI RAYA PASKA (Sore)
4 April 2021

Kis 10,34a.37-43
Kol 3,1-4
Luk 24.13-35