Saya tidak kagum pada mereka yang tak takut mati alias berani mati. Jadi, kalau saya kagum pada para pahlawan yang berani mati melawan penjajah, itu bukan karena berani matinya, melainkan karena mereka berani melawan ketidakadilan dengan konsekuensi pengorbanan nyawa mereka demi memberi kehidupan bagi banyak orang. Berani melawan ketidakadilan, itulah yang mengagumkan saya. Itulah yang klop dengan tujuan hidup orang. Dengan kata lain, berani hidup lebih mengagumkan saya daripada berani mati.
Maka dari itu, juga kalau hari ini ada pengantin yang menunjukkan mental berani matinya, saya sama sekali tak tertarik. Meskipun tak tertarik, toh saya belajar juga dari orang-orang macam ini, yang rupanya tak punya modal untuk hidup selain dengan kaca mata kuda yang ditanamkan dalam hati dan budinya. Dengan kaca mata kuda itu, dunia bisa jungkir balik karena cara pandang orangnya upside-down inside-out. Semoga jiwa-jiwa orang ini berkesempatan mengalami penyucian bersama malaikat, bidadari/a, dan orang-orang kudus. Amin.
Loh, trus yang dipelajari dari mereka apa, Rom?
Saya belajar bahwa memang untuk hidup itu ya jebulnya gak gampang. Sudah setahun lebih hidup normal menjadi sedemikian terbatas dan tak sedikit orang yang tak bisa melihat kemungkinan baru untuk menyiasati bisnis, pekerjaan, kerohanian, keluarga, dan seterusnya. Di sana-sini mesti saja ada kesulitan, selain ancaman ketularan penyakit. Kesulitan dan jalan buntu itu jadi bantal empuk untuk keyakinan kaca mata kuda tadi. Maka, mati pun, siapa takut?
Guru dari Nazareth mengajarkan sesuatu yang lebih manusiawi: takut mati! Saya kira itu bukan karena dosanya banyak, melainkan karena kematian yang menyongsongnya itu sedemikian mengerikan. Ketakutan macam begini kiranya wajar, tetapi mungkin baik dilihat bagaimana Guru dari Nazareth ini menghadapi ketakutannya. Saya lihat dua hal saja.
Pertama, beliau berdoa, dan doanya sederhana,”Mbok ya kalau bisa hal mengerikan ini jangan menimpa akulah; anyway, bukan kemauanku sih yang penting. Semoga kehendak-Mulah yang terjadi.”
Kedua, beliau tak banyak cingcong, tak berusaha menjelaskan kepada mereka yang melakukan perundungan dan mempertontonkan politik kekuasaan. Bukan apa-apa, sinkron dengan doa tadi: semoga mereka mendapat hidayah dari Allah sendiri, bukan dari debat atau aneka penjelasan yang hanya jadi konsumsi otak dan tak kunjung menggapai hati yang bersimpuh di hadapan Allah.
Selamat menyiapkan hati dan budi untuk menggumuli misteri Paska. Semoga ujung-ujungnya membawa keberanian untuk hidup lebih hidup lagi. Amin.
HARI MINGGU PALMA B/1
Mengenangkan Sengsara Tuhan
28 Maret 2011
Yes 50,4-7
Mzm 22,8-9.17-18a.19-20.23-24
Flp 2,6-11
Mrk 14,1-15,47
Posting 2018: Raja Telanjang
Posting 2015: No Faith out of Fear
Categories: Daily Reflection