There is no fear in love; but perfect love casts out fear, because fear involves punishment, and the one who fears is not perfected in love. Begitulah kira-kira yang ditulis oleh Yohanes sekitar 2000 tahun yang lalu. Kalau orang sungguh hidup dalam cinta, ia tak punya ketakutan; semakin dalam cintanya, semakin enyahlah ketakutan.
Hari ini Gereja Katolik mengawali pekan suci untuk mengenangkan rangkaian kisah sengsara Yesus, pribadi yang diimani sebagai Kristus. Minggu Palma sebenarnya bersuasanakan kegembiraan karena Yesus dipresentasikan sebagai pembebas, penyelamat, Mesias yang masuk ke Yerusalem untuk memberikan keselamatan. Keselamatan gimana, wong akhirnya malah dia sendiri divonis mati kok? Ya keselamatan ini bukan kesuksesan karir sosial-politik, atau ketenangan badan dan jiwa, misalnya.
Keselamatan yang dimaksudkan di sini lebih dalam: pembebasan dari dosa. Orang yang terbebas dari jerat dosa bisa saja justru hidup susah atau cedera oleh polah orang lain, tapi kesusahan itu tak merenggut arah dasar hidupnya: AMDG. Kalau orang hidup beragama takut susah atau menderita dan yang dibayangkannya hidup tenang happy-happy tanpa visi misi tadi, imannya justru perlu dipertanyakan.
Yesus memahami gejolak para pemimpin agama di Yerusalem dan persekongkolan mereka untuk membunuhnya. Ia pun dengan sadar memilih berangkat ke Yerusalem dan meskipun ia gak ngerti Bahasa Inggris, ia memahami bahwa tindakannya ke Yerusalem kali itu menjadi sebuah point of no return. Ia takkan bisa berpaling ke belakang. Ia mesti move on. Itu juga bahkan dialami oleh keledai muda yang dipakainya: dilepaskan dari tambatannya di Betfage dan gak balik lagi. Ini simbol kebebasan. Orang beriman justru mengalami pembebasan dan bukannya semakin membebani diri atau terbebani hukum.
Tindakan Yesus ke Yerusalem itu menandaskan bahwa ia mengampuni semua orang yang merongrong hidup duniawinya bahkan sebelum mereka menyadari keberdosaan mereka! Tidakkah ini menggembirakan: diampuni bahkan sebelum kita sadar bahwa kita telah melakukan dosa?!
Sampai sekarang orang masih bisa terheran-heran bagaimana mungkin orang baik malah menderita atau bahkan dihukum mati; tetapi peribahasa “air susu dibalas dengan air tuba” itu gak nongol dari langit. Pada kenyataannya hal seperti itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin pimpinan religius dan politik di Yerusalem malah memvonis mati orang yang hanya melakukan kebaikan selama karyanya di luar Yerusalem?
Mari kita lihat baik-baik. Dari sudut pandang teologis, Yesus divonis mati karena ia mengafirmasi bahwa ia adalah Mesias. Suatu klaim yang pasti disangkal para pemimpin agama: tak mungkinlah Mesias datang dari dusun Nazareth. Dari sudut pandang politis, Yesus dibiarkan mati oleh Pontius Pilatus karena klaimnya sebagai raja orang Yahudi. Klaim ini juga tentu disalahartikan oleh Pontius Pilatus. Baik pemimpin agama Yahudi maupun petinggi prokurator Roma tidak memahami siapa Yesus dan visi misi AMDG-nya, sebagaimana orang zaman sekarang pun tidak memahaminya.
Jika kita lihat lebih dalam lagi, akan kita temukan apa yang membuat dua pimpinan itu gagal paham: Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mendengar tentang peristiwa itu, dan mereka berusaha untuk membinasakan Dia, sebab mereka takut kepada-Nya, melihat seluruh orang banyak takjub akan pengajaran-Nya (Mrk 11,18). Mereka hendak membunuhnya. Realitasnya: mereka takut! Pontius Pilatus lebih lagi. Sewaktu ia menginterogasi Yesus, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, “Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah.” Ketika Pilatus mendengar perkataan itu bertambah takutlah ia, lalu ia masuk pula ke dalam gedung pengadilan dan berkata kepada Yesus: “Dari manakah asal-Mu?” Tetapi Yesus tidak memberi jawab kepadanya (Yoh 19,7-9). Realitasnya: Pontius Pilatus lebih takut lagi!
Ketakutan tentu bukan realitas eksklusif bagi pimpinan religius dan politis. Masih ingat representasi manusia pertama Adam dan Hawa? Ketika mereka selesai makan buah pohon pengetahuan dan Allah mencari mereka, si Adam berkata, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” (Kej 3,10). Ketakutan: buah dosa pertama; takut dan sembunyi.
Tak hanya itu, buah ketakutan adalah vonis mati terhadap Yesus! Takut repot, takut dirongrong masyarakat, takut tak bisa handle risiko, takut gagal, takut dibenci, takut kehilangan suara, takut salah….
Yesus mengerti baik-baik risiko pilihannya ke Yerusalem dan ia mengatasi ketakutan sebagai buah pertama dosa. Dengan pilihannya Ia seakan mengatakan: jangan takut, jangan sembunyi! Untuk jadi anak-anak Allah, orang tak bisa bersembunyi karena takut. Yesus membebaskan kemanusiaan dari musuh historis, yang ada dalam diri setiap orang: ketakutan. Pembebasan Yesus ini mengundang umat beriman untuk keluar dari persembunyiannya dan dengan lapang dada menghadap Allah: Tuhan, ini aku, anak-Mu.
Begitulah warta gembira yang memungkinkan orang semakin beriman, semakin bebas dari ketakutan yang membelenggu. Yang bertindak karena takut (pun kalau itu dirumuskan seolah-olah mulia: takut dosa, takut melukai orang lain, takut merusak relasi dll), tidak bertindak dalam iman.
HARI MINGGU PALMA B/1
Mengenangkan Sengsara Tuhan
29 Maret 2015
Yes 50,4-7
Mzm 22,8-9.17-18a.19-20.23-24
Flp 2,6-11
Mrk 14,1-15,47
Posting Tahun Lalu: Welcoming The Wisdom
Categories: Daily Reflection