Di desa tempat ortu saya tinggal, nasib lampu penerangan jalan tidak begitu mujur karena kerap terjadi mutasi akibat ulah pencuri sampai akhirnya warga maklum dan tidak lagi memasang lampu penerangan jalan. Begitulah gambaran sederhana bagaimana kepentingan umum dirampas oleh oknum yang hendak memperkaya diri atau membuat dirinya terang benderang atau menikmati hidupnya di atas penderitaan atau kesulitan hidup publik. Kalau mau gambaran yang lebih rumit, Anda mesti masuk ke ranah politik ababil, yang dasar perilakunya hanya ada pada kepentingan parokial (bisa jadi sektarian, kelompok kepentingan, partai, agama, suku, dan semacamnya) daripada prinsip hidup bersama.
Saya pernah mendapat laporan dari perantau di tanah seberang, yang mengalami bagaimana desa-desa di tempat tinggalnya secara rutin kehilangan perkakas. Tak seorang pun yang bisa menangani pencuri ini, bahkan meskipun sebetulnya sudah ada siskamling (sistem keamanan maling, mungkin ya). Berbulan-bulan desa-desa itu disatroni maling tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menangkap malingnya. Seluruh warga desa begitu geram.
Akhirnya, perantau ini bersama beberapa warga desa mengadakan rapat terbatas. Di dalamnya dibahas aneka strategi dan taktik untuk menangkap pencuri itu. Betul saja. Saatnya tiba dan warga desa perantau ini berhasil memancing kedatangan maling dan meringkusnya. Nahasnya, karena rupanya seluruh warga geram, kemarahan warga tak terkendali dan, singkat cerita, maling yang tertangkap ini meregang nyawa dan sebelum sampai ke rumah sakit, dia meninggal.
Polisi, entah bagaimana prosedurnya, mengumpulkan warga dan meminta warga desa itu untuk bertanggung jawab atas kematian maling. Jika tidak ada yang bertanggung jawab, seluruh warga desa mesti membayar iuran sekian rupiah setiap periode tertentu. Nah, baru deh mereka celingukan; siapa yang mesti bertanggung jawab, karena tidak jelas lagi siapa yang menendang, memukul, meninju, mementung, dan seterusnya. Akan tetapi, kalau setiap warga harus membayar denda dengan besaran yang disebutkan polisi itu, mereka benar-benar tidak sanggup.
Pada momen genting itulah, perantau yang menuturkan pengalamannya itu maju ke depan dan mengatakan bahwa dia siap bertanggung jawab. Itu artinya, dia mesti masuk penjara bahkan meskipun anaknya masih bayi.
Saya tidak hendak menyejajarkan perantau ini dengan sosok pastor bonus, gembala yang baik, yang jadi tema bacaan hari ini. Akan tetapi, begitulah kira-kira yang dimaksud sebagai pastor bonus: meletakkan hidupnya yang receh dalam konteks hidup yang jauh lebih agung, dan menempatkan hidup yang jauh lebih agung itu di atas kepentingan parokialnya. Dengan begitu, selagi ia dipenjara, warga desa pun membantu anak istrinya yang berjuang hidup tanpa kepala keluarga.
Entah, apakah karakter pastor bonus itu juga dihidupi oleh mereka yang ada di posisi strategis untuk kepentingan publik. Jika menilik riset yang menghasilkan indeks keadilan sosial, jawabannya negatif. Jauh lebih banyak yang cari selamat sendiri daripada selamat bersama.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk menanggapi panggilan-Mu supaya kami dapat menjadi gembala yang baik, yang memberi hidup daripada peluang korup. Amin.
MINGGU PASKA IV B/2
21 April 2024
Hari Minggu Panggilan
Kis 4,8-12
1Yoh 3,1-2
Yoh 10,11-18
Posting 2021: Mrucut 1
Posting 2018: Ciao, Bella!
Posting 2015: Anjing Cakep atau Enak?
