Mrucut

Saya tak mengira Plato pernah membuat analogi bahwa pemerintah yang baik mestilah punya kualitas gembala yang baik. Kalau anjuran itu disampaikan kepada kalangan orang Kristen, asosiasinya jelas: gembala yang baik ialah Yesus Kristus sendiri. Dalam teks Mazmur analogi itu juga rujukannya jelas: Tuhanlah gembalaku, aku takkan berkekurangan.

Meskipun tak akrab dengan dunia gembala pada zaman Plato dan Guru dari Nazareth itu, saya bisa mengerti bagaimana para gembala jadul itu bisa menghabiskan waktu bersama domba-dombanya untuk mencari rumput dan air di luar kandang mereka. Konon, para gembala itu bisa menginap di tempat domba-dombanya bisa makan minum dan beristirahat. Tak mengherankan, ancaman senantiasa mengintai: serigala atau juga begal. Terhadap ancaman itu, para gembala sudah sepantasnya mempersiapkan diri.

Akan tetapi, bisa juga dimengerti jika gembala itu berhadapan dengan begal dan serigala njuk ia mengorbankan nyawanya, kesimpulan apa yang bisa diperoleh? Itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin demi seekor atau beberapa domba, gembala menukarnya dengan nyawanya sendiri? Untuk apa? Bukankah dengan begitu keberadaan domba-domba itu tak ada artinya lagi bagi si gembala? Sudah mati gembalanya, ia tak butuh domba-dombanya lagi.

Ternyata, begitulah yang menimpa Guru dari Nazareth. Tidaklah logis ia mati di salib. Ngapain jal? Jadi gembala yang baik kok malah mati! Kematiannya pun jadi kontroversi sejak dulu sampai nanti. Seperti sudah saya sampaikan dalam aneka posting, saya tak ambil pusing dengan kontroversi itu karena saya tak mempersoalkan kematiannya. Penyerahan nyawa gembala yang satu ini bukan perkara mati demi domba-dombanya seperti analogi Plato tadi.

Penyerahan nyawanya adalah perkara memberikan nyawa pada domba-dombanya yang berasal dari karakter cinta Allah sendiri. Ini bukan perkara tindakan heroik ala pahlawan Holywood, melainkan tindakan simbolik yang mengundang umat manusia untuk meyakini cinta Allah yang melampaui segala kalkulasi manusiawi. Penyakitnya selalu potensial: orang lebih fokus pada kalkulasi manusiawi sehingga kenyataan hidup ini mau dicengkeramnya dengan hitungan-hitungan macam itu. Wawasan, perspektifnya sangat sempit dan eksklusif. Kata yunior saya, kebenaran cinta Allah itu seperti belut: sudah dipegang, ya masih mrucut

Tuhan, mohon rahmat panggilan cinta-Mu supaya kami mampu secara setia menapaki jalan berliku kehidupan kami. Amin. 


MINGGU PASKA IV B/1
25 April 2021
Hari Minggu Panggilan

Kis 4,8-12
1Yoh 3,1-2
Yoh 10,11-18

Posting 2018: Ciao, Bella!
Posting 2015: Anjing Cakep atau Enak?