MSG

Published by

on

Sewaktu masih setinggi 90 cm, saya beberapa kali mengikuti program MSG alias makan siang gratis di sawah. Saya tidak tahu apakah program ini masih ada sampai sekarang. Saya dengar sih, itu akan diadakan dan mulai dari daerah 3T, entah kapan.
Sewaktu kecil itu, saya tidak tinggal di daerah 3T, dan pesta panen memang menggembirakan, baik bagi yang panen raya maupun bagi yang bertetangga dengan si pemanen raya ini. Memang bukan pesta ala pemenang pemilu, tetapi justru di situlah makna pesta sesungguhnya saya alami: bukan karena saya ikut bikin si pemanen sukses panen, melainkan semata si pemanen hendak bersyukur dan syukur itu dibagikannya kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Tidak ada transaksi politik di situ, bahagia betul; tidak harus mengembalikan modal, tidak harus balas budi dengan bagi jatah menteri, dan seterusnya.

Pesta panen raya itu tidak eksklusif milik tempat tinggal saya; bahkan di Timur Tengah, sejak zaman jebot sudah ada nuansa syukur panen raya. Nah, suasana itu pula yang kemudian diadopsi oleh bangsa Yahudi sekeluar mereka dari penjajahan bangsa Mesir. Menariknya, pesta panen raya itu tak lagi dirayakan sebagai momen agrikultural, tetapi sebagai momen religius. Bangsa Yahudi itu begitu gembira karena Allah menurunkan tuntunan lewat Taurat; begitulah kiranya Pentakosta Yahudi. Dengan Taurat itulah mereka menjadi bangsa yang besar karena hidup mereka sesuai dengan tuntunan Allah sendiri.

Akan tetapi, kita tahulah, power tends to corrupt, dan Taurat itu semakin lama jadi semata aturan formal yang tidak otomatis membawa orang pada substansi tuntunan Allah. Bolak-balik hakim-hakim yang diutus setelah Musa, penerima Taurat, cuma bisa gigit jari karena bangsa Yahudi lebih memilih jalan lain. Raja-raja Yahudi pun, akibatnya, ikut juga aneka skandal sebagaimana mungkin terjadi di kerajaan-kerajaan lainnya. Para nabi sebagian besar nelangsa karena suara mereka untuk mengingatkan substansi Taurat tak kunjung didengarkan bangsa Yahudi. Barangkali 58 sampai 84 persen dari mereka lebih puas dengan tau sama tau atau “semua orang juga berbuat begitu” dan hidup mereka benar-benar klop dengan ke mana angin penguasa membawa. Mereka jadi bulan-bulanan Persia dan juga imperial Romawi.

Di situ, Taurat yang substansinya luhur itu diterima secara kompromistik seturut kepentingan penguasa. Tak mengherankan, penguasa agama pun tunduk pada agenda imperialisme. Mau apa lagi, keamanan terjamin, kekayaan berlimpah, bisa mati dengan status penguasa. Asik kan?

Kelompok Yesus dari Nazareth barangkali muncul dari bilangan 16% atau bahkan jauh lebih kecil dari itu; hanya sebagian dari pengikut Yohanes Pembaptis. Akan tetapi, mereka memberi pondasi baru mengenai Pentakosta, yang semula adalah pesta panen raya itu. Bagi mereka, Pentakosta adalah perkara turunnya Roh Kudus, yang memampukan orang masuk ke dalam substansi Taurat.

Sudah saya singgung dalam posting Roh Mahmud Lagi: Roh Kudus itu bukan lagi sesuatu ‘di luar sana’ sebagai hukum atau kitab atau api di atas kepala, melainkan kebijaksanaan dalam hati untuk meneliti perkara dalam perjumpaan dengan realitas. Seorang mahmud boleh mengingat apa kata ibunya mengenai bagaimana menenangkan bayi, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan kebijaksanaan dari perjumpaan langsungnya dengan si bayi. Dalam perjumpaan langsung itu, kebijaksanaan dalam hatinya akan menuntunnya pada makna pengorbanan, belajar, fokus, mencurahkan perhatian, pengampunan, kesabaran, dan sebagainya.

Dengan kata lain, pencurahan Roh Kudus, turunnya Roh Kudus, tidak bersifat top down, melainkan bottom up. Itu mengapa saya tidak suka MSG selain karena potensi moral hazard. Tidak semua orang yang sangat miskin sekalipun membutuhkan makan siang gratis dan malah bisa jadi mereka membutuhkan infrastruktur komprehensif yang memungkinkan mereka bikin makan siang sendiri, yang tidaklah harus nasi rames.

Infrastruktur itu pun tidak juga harus dimengerti secara top down sebagai uluran tangan pejabat, tetapi justru bisa jadi gerakan bottom up dari segelintir 16% untuk membebaskan diri dari gurita kekuasaan uang bin kapital. Jika itu terjadi, Anda mendapatkan contoh bagaimana Pentakosta terjadi. Otherwise, roh Orde Baru bersama pemilu di depan mata: Anda gak setuju, sikat. Anda protes, saya habisi. Anda gak mau kerja sama, jangan macam-macam! Dalam kondisi seperti itu, roh kuda lebih populer dan hanya pejabatlah yang bisa berpesta. Rakyat jelantah? Ya boleh join pesta, sekadar trickle down effect aja. Gambarannya seperti di bawah ini, tapi maaf saya tak punya tautan sumbernya dari mana.

trickle down

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami mampu berperan untuk bekerja seturut buah-buah Roh Kudus-Mu. Amin.


HARI RAYA PENTAKOSTA B/2
19 Mei 2024

Kis 2,1-11
Gal 5,16-25
Yoh 15,26-27;16,12-15

Posting 2018: Bhinneka Tunggal Ika
Posting 2015: Ribut Melulu di Dalam

Previous Post
Next Post