Roh Mahmud Lagi

Mari berandai-andai. Anda diberi info mendapat warisan bernilai trilyunan rupiah dan warisan itu tersimpan di bank yang Anda tak punya akses sama sekali ke bank itu. Info ekstranya: bank itu sudah collapse dan, sesuai dengan kesepakatan yang sah secara hukum, nasabah dan ahli warisnya tak berhak menuntut apa-apa jika bank itu collapse. Nah3, kalau seperti itu kejadiannya, apa arti info warisan itu kalau bukan omong kosong?
Mungkin kira-kira gitu jugalah kebanyakan hidup orang beragama, terutama yang hari ini merayakan Pentakosta!

Jangan khawatir, saya tidak sedang menuduh hidup keagamaan Anda kosong; yang saya tuduh adalah diri saya sendiri; tetapi kalau Anda ikut merasa tertuduh, mungkin ya gak malah bagus.🤭
Pentakosta itu kira-kira seperti momen warisan gitu deh: nyata enggaknya bergantung pada banknya collapse atau enggak, dan Anda punya akses ke bank itu atau enggak. Kalau banknya gak collapse tapi Anda tak punya akses, Pentakosta cuma omong kosong, cuma jadi label tempelan doang saja.

Salah satu kunci yang memungkinkan Anda mengakses Pentakosta adalah imajinasi. Saya sama sekali tak mengatakan bahwa peristiwa iman itu cuma imajinasi, tetapi kalau imajinasi Anda terkekang, kunci akses itu berisiko hilang. Mari kembali ke peristiwa sepuluh hari lalu yang saya bahas di tautan ini. Di situ saya mengundang Anda untuk beranjak dari imajinasi anak-anak, yang konon lebih kaya daripada imajinasi orang dewasa tetapi kalau sudah berhubungan dengan peristiwa iman malah bisa jadi keblinger dan bikin orang jadi fanatik atau malah teroris.

Momen Pentakosta ini kira-kira juga seperti momen kenaikan: kalau diimajinasikan dengan modal fantasi anak-anak terhadap cerita teks bacaan pertama hari ini malah bisa misleading. Mesti akan ada umat yang protes kalau saya berkhotbah bahwa hitungan tiga hari, 40 hari, 50 hari itu tak perlu ditangkap secara literal sebagai tiga peristiwa terpisah: kebangkitan, kenaikan Yesus, dan turunnya Roh Kudus. Hitung-hitungan itu malah akan bikin runyam sendiri [bahkan dengan orang lain juga] karena itu cuma tiga dimensi momen yang sebetulnya ya sama: Dia yang tak terjangkau manusia itu menjangkau manusia!

Lha terus kenapa penulis Kitab Suci itu kok ya menceritakan seperti itu, Mo? Seperti itu yang mana?
Peristiwa dalam Kisah Para Rasul itu mau menuturkan jawaban pertanyaan begini: apa jadinya kelompok umat beriman kalau Roh Kudus ‘turun’ (dan dengan demikian: kebangkitan dan kenaikan Yesus) dan ‘menyengat’ mereka?
Kenapa kok dibilang 50 hari setelah Paska?

Lha iya cetha, mereka begitu fasih dengan tradisi Yahudi yang dihidupi Yesus. Lima puluh hari setelah Paska, orang Yahudi punya pesta peringatan turunnya Torah alias Hukum Taurat yang jadi dasar hidup keagamaan mereka berabad-abad! Njuk yang Kristen Yahudi pesta apa dong? Ya sutra pesta turunnya Roh Kudus aja, kan? Beres!

Sebagaimana orang Yahudi menerima Hukum Taurat sebagai warisan Musa yang jadi petunjuk hidup keagamaan mereka, begitu juga Roh Kudus menjadi warisan Yesus yang oleh orang Kristen disebut Kristus. Apakah ini jadi alasan untuk mengotak-kotakkan orang Kristen dan Yahudi? Bisa jadi, meskipun sebetulnya tak perlu harus ke sana sih; tapi apa mau dikata, politik mah bisa bikin apa ajaIMHO, dua hal itu sama-sama dibutuhkan, tapi mungkin penekanannya tidak mesti sama. IMHO lagi, Roh Kudus tentu lebih besar bobotnya daripada aneka macam petunjuk, yang nota bene justru munculnya karena kerja Roh Kudus itu.

Mari berandai-andai lagi. Anda mengikuti jalan atau lari maraton yang lintasannya berliku-liku dan turun naik di area asing. Anda sungguh butuh rambu petunjuk jalan supaya Anda tak tersesat di persimpangan. Akan tetapi, rambu itu ada di luar sana dan tidak memberi kekuatan apa-apa dari dalam diri Anda. Roh Kudus itulah yang memberdayakan Anda dari dalam, memberi tenaga untuk menuntaskan maratonnya.
Konkretnya gimana, Rom?🤣
Mau apa lagi: unconditional love! Terserah Anda mau timba dari mana: Mother Teresa, Oscar Romero, Marsinah, Munir,  Diponegoro, Gus Dur, Syafii Maarif, tetangga, orang tua Anda sendiri, atau bahkan…. nah… mungkin ini contoh konkret: para mahmud!

Bisa jadi, para mahmud zaman naow akan membaca banyak buku psikologi atau konsultasi mendidik anak atau telpon mahtunya untuk menghadapi anaknya yang beranjak besar! Semua itu adalah petunyuk dari luar. Pada gilirannya, mahmud ini mesti memfungsikan petunjuk alamiahnya sebagai ibu: terlibat dalam cinta personal kepada anaknya, dan bukan cinta diri pada karir atau hapenya. Barangkali ia tetap butuh petunyuk dari luar, tetapi yang memberinya energi lebih ialah unconditional lovenya kepada anaknya.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat mengakses warisan-Mu yang memberi tenaga bagi peziarahan hidup kami. Amin.


HARI RAYA PENTAKOSTA C/2
5 Juni 2022

Kis 2,1-11
Rm 8,8-17
Yoh 14,15-16.23b-26

Posting 2019: Jangan Sampai Gosong
Posting 2016: Bapaaaaaak!