Kalau masih ingat cerita sebulan lalu, lebih sedikit, tentang bagaimana Yesus berada di tengah murid-muridnya yang ketakutan pasca kematian guru mereka, mungkin Anda terbantu untuk membaca teks hari ini. Diceritakan di situ bahwa ketika pintu ruangan semua terkunci, Yesus datang dan berdiri di tengah-tengah mereka. Saya dulu pernah mencoba mengontemplasikannya dan buyar. Maksud saya, macet, berhenti, dan pikiran malah melayang ke sana kemari penuh pertanyaan. Saya tidak tahu apakah Anda bisa mengontemplasikan, membayangkannya. Kalau bisa, mohon saya diberi info gimana caranya selain menerimanya sebagai penampakan hantu atau fantasi orang kasmaran.
Poin saya ialah, balik lagi, penulis Injil itu tidak sedang menyampaikan reportase; dia sedang mencoba mengungkapkan pengalaman terdalamnya dan memaknai bagaimana kehadiran Tuhan itu membongkar hatinya yang terkunci oleh ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, dan aneka dinamika negatif hidupnya. Tak mengherankan, kalau ceritanya ditangkap dengan kronologi yang masuk akal, kontemplasi ya bakal macet. Maka, di kemudian hari saya tidak memakainya sebagai bahan kontemplasi, tetapi bahan meditasi.
Nah, setelah saya cermati, jebulnya kata kerja yang dipakai dalam cerita itu untuk mengatakan Yesus ‘berdiri’ di tengah-tengah para muridnya itu sama dengan kata kerja yang dipakai untuk kisah hari ini: dekat salib Yesus ‘berdiri’ ibunya. Kata kerja ini punya makna yang jauh lebih kaya daripada perkara murid-murid sekolah berdiri bersama di lapangan upacara. Ini bukan soal mengambil posisi fisik tertentu yang berbeda dari duduk atau berbaring.
Ini adalah perkara cara berada yang hanya mungkin dimengerti ‘dari dalam’ seperti kemarin saya singgung soal maraton dan rambu penunyuk jalan. Lha, ‘dari dalam’ itu pun tidak bisa dibilang dari bawah kulit badan Anda, seakan-akan itu adanya cuma di jantung, hati, perut, usus Anda, bukan? ‘Berdiri’-nya Yesus di tengah murid-muridnya itu adalah perkara kehadiran yang dijabarkan dengan kenyataan lain: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaku, aku hadir di situ. Lalu, ‘dalam namaku’ itu juga tak bisa dibatasi dengan label Kristen, bukan?
Kenapa? Karena itu perkara, balik lagi, saling mengasihi, begitu kata Yohanes. Jadi, ‘berdiri’-nya Yesus di tengah para murid itu adalah kenyataan yang hendak ditunjukkan Yohanes ketika para muridnya terbebas dari cengkeraman dari luar.
Jadi, kalau hari ini dikatakan dekat salib Yesus berdiri ibunya, Anda tak wajib mengimajinasikan bahwa pada pada jarak setengah meter dari salib Yesus, Maria berdiri di situ. Saya tidak mengatakan bahwa itu tak mungkin terjadi. Mungkin saja Maria berdiri, berlutut, bersandar, memeluk salib, dan seterusnya. Akan tetapi, itu bukan poin yang hendak disampaikan; bukan posisi fisiknya yang penting, melainkan disposisi batin: bunda ini dekat salib, dan itu adalah keputusan personalnya, bukan karena semata disuruh, kecelakaan, keterpaksaan, kebodohan, dan sejenisnya.
Tuhan, semoga teladan Bunda Maria meneguhkan kesetiaan kami pada jalan salib-Mu. Amin.
Peringatan Wajib SP Maria, Bunda Gereja
6 Juni 2022
Kis 1,12-14 / Kej 3,9-15,20
Yoh 19,25-34
Categories: Daily Reflection