Miskin Harga Diri?

Pernah saya ditawari koran di perempatan jalan ketika saya antre lampu berwarna. Saya meletakkan pergelangan tangan kanan di atas roda kemudi dan telapak tangan saya gerakkan sebagai kode bahwa saya tidak berniat membeli koran. Yang membuat saya salut adalah, di bawah terik matahari itu, sang penjaja koran menyiapkan lima korannya sambil menatap mata saya dan bertanya,”Lima?” Semoga Anda tahu mengapa kemudian saya tertawa alih-alih menangis.
Tawa saya itu diiringi salut.

Rasa salut saya mungkin lebih besar ketika saya melihat penjual masker eceran mengembalikan uang pembelinya, bukan karena kelebihan bayar, melainkan karena pembeli itu tidak mau menerima barang yang dibelinya. Jadi, katakanlah, harga masker itu seribu; lalu penjual itu menerima uang lima ribu. Andaikan pembeli itu mengatakan “Kembaliannya buat Bapak saja” dan pembeli menerima masker, mungkin perkaranya jadi lain. Akan tetapi, rupanya ketika penjual itu menyerahkan masker yang dijualnya, sang pembeli menolaknya. Barangkali yang dikatakan penjaja masker itu adalah “Saya di sini jualan, bukan ngemis.”
Dalam dua sosok pedagang asongan itu saya melihat serpihan harga diri pribadi yang, menurut saya, tahu betul bagaimana bersikap atas hidup mereka tanpa jadi bulan-bulanan penderitaan atau kerasnya hidup ini.

Bisa jadi dari sosok pribadi yang kedua ada kesan arogansi dan orang berkomentar “Orang susah aja masih bergaya gak mau terima bantuan!” Saya melihatnya dari perspektif berbeda: “Orang susah pun punya harga diri.”
Akan tetapi, saya tahu, di luar sana ada banyak ‘orang susah’ yang menikmati kesusahannya tanpa harga diri, yang menunjukkan kepada dunia bahwa mereka ini adalah orang yang pantas dikasihani, yang menghayati mental pengemis untuk jadi sasaran empuk bagi orang saleh yang membutuhkan objek amalnya!

Relasi yang bersifat saling mengobjekkan seperti itu tak mungkin mengantar orang pada pemahaman misteri tritunggal yang dirayakan Gereja hari ini. Seperti biasa, saya tak berminat menyodorkan rasionalisasi. Allah Tritunggal itu adalah buah refleksi hidup manusia; tidak diajarkan dalam Kitab Suci; bahkan Yesus pun tidak mengajarkannya. Pertanyaannya: bagaimana manusia bisa merefleksikan seperti itu? Justru karena asumsinya ada Roh Kudus, yang memampukan manusia membangun relasi dengan harga diri.

Dalam bahasa Italia (juga bahasa Eropa pada umumnya), kata ganti orang ketiga dipakai untuk menyapa orang kedua sebagai bentuk sopan santun dan hormat. Pernah saya sapa seseorang dengan kata ganti itu (Lei; Sie; Vouz) dan dia malah celingak-celinguk berlagak bingung,”Lei? Siapa? Di mana?” Saya tahu, dia ingin supaya saya menyapanya dengan “Tu” (kamu, ya kamu, bentuk tunggal, orang yang diajak bicara), karena ia menganggap saya teman atau sohibnya dan ingin saya pun menganggapnya sebagai teman atau sohib.

Saya kira, begitulah juga maksudnya Allah Tritunggal. Sekali lagi, saya tak ambil pusing dengan dogmanya, yang mesti terkait dengan pola pikir zaman jebot ketika alam pikiran Yunani mesti berhadapan dengan dunia lain. Allah Tritunggal tidak lagi berbunyi menarik untuk pikiran saya, tetapi saya tahu bahwa Allah ingin umat-Nya menyapa-Nya dengan “Tu” tadi. Ini bukan perkara merendahkan Allah atau tidak sopan, melainkan soal bahwa orang yang menyapa Allah dengan ‘Tu’ tadi berkesadaran bahwa hidupnya, dari waktu ke waktu, adalah hidup bersama Allah; bahwa Allah menyertainya.
Lha, kalau orang hidup bersama Allah, bagaimana dia jadi miskin harga diri?

Tuhan, mohon rahmat untuk menyingkap wajah-Mu dalam hidup sehari-hari kami. Amin.


HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS C/2
Minggu, 12 Juni 2022

Ams 8,22-31
Rm 5,1-5
Yoh 16,12-15

Posting 2019: Menuhan
Posting 2016: Susahnya PDKT