Menuhan

Saya kutipkan satu paragraf dari buku “Mata Air Keteladanan” tulisan Pak Yudi Latif: Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yang ditekankan di sini bukan tuhannya apa–karena itu urusan keyakinan agama masing-masing, melainkan “ketuhanannya”, yakni sikap “menuhan”; berproses meniru, mendekati, dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan. Apa pun agama dan tuhannya, jika warga negara sanggup meniru, mendekati dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan sesuai tuntutan agamanya masing-masing, insya Allah semuanya akan memiliki titik “keesaan”, yakni persatuan dalam kebajikan.

Memang tidak cukuplah orang mengklaim “saya percaya Tuhan”. Lebih jauh lagi, orang perlu mengklarifikasi Tuhan macam mana yang dipercayainya. Ini bukan soal Tuhan mana yang benar dan Tuhan mana yang salah, melainkan sikap “menuhan” tadi. Jadi apa Anda nanti setelah besar akan bergantung pada konsep diri Anda dan paham Allah yang Anda pegang. Paham Allah tidak sama dengan ajaran atau doktrin agama, kecuali kalau doktrin itu sudah mendarah daging dalam integritas hidup seseorang. Maka, kalau orang jadi teroris, bisa jadi paham Allahnya merujuk pada Allah teroris. Kalau orang jadi laissez-faire, apa saja oke, bisa jadi paham Allahnya merujuk pada panteisme, dan seterusnya. Jadi, paham Allah bukan lagi soal apa yang diajarkan agama A-Z.

Paham Allah yang dirujuk Gereja adalah paham Allah triniter. Sudah saya katakan bahwa ini tidak ada di Kitab Suci, sebagaimana dalam teks-teks tradisi Buddhisme tak ada konsep tentang Allah. Maka, kalau memanfaatkan perspektif Pak Yudi Latif tadi, perayaan Tritunggal Mahakudus sama sekali bukan penegasan doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal. Maksud saya, perayaan Trinitas itu bukan jawaban pertanyaan “Tuhannya orang Katolik apa?”, melainkan cara Gereja Katolik, dalam perspektif Pak Yudi Latif tadi, berikhtiar untuk “menuhan”: meniru, mendekati, menjiwai sifat cinta kasih Tuhan. Oleh orang Katolik proses “menuhan” itu ditempuh dengan model Guru dari Nazareth, yang dalam keyakinan Kristen wafat, bangkit, dan mengutus Roh Kudus ke dalam diri umat beriman dan bersama Roh itu orang hidup menuju Allah, yang dalam kebiasaan Guru dari Nazareth itu disebut Bapa. Jadi, Tritunggal Mahakudus bukan melulu soal definisi atau esensi Allah, melainkan misteri relasi cinta Allah-manusia lewat pribadi-pribadi yang diwahyukan Allah itu. Berhubung pribadi-pribadi yang ditangkap Gereja itu adalah Yesus Kristus dan Roh Kudus, njuk tak perlu heran kalau orang Kristen tak menganut panteisme karena kelebayannya.

Apakah Tritunggal Mahakudus ini eksklusif milik orang Kristen? Sebagai doktrin iya (karena itu, bingunglah orang Kristen menjelaskannya, lha wong misteri), tetapi sebagai praksis hidup orang beriman, saya yakin, Roh Allah itu senantiasa menggapai semua orang supaya reconnect dengan Allah YME itu. Perkara orangnya mau digapai, tergapai atau tercolek Allah atau tidak, itu lain lagi. Orang tinggal melihat saja buah-buah dari hidup keagamaannya: semakin hidupnya merepresentasikan upaya “menuhan”, semakin nyata dia menghidupi misteri Tritunggal tadi, tentu itu dari kacamata Kristen. Dari kacamata lain bisa disebut sesuatu yang lain lagi, tetapi prinsipnya “menuhan” tadi. 

Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami semakin mampu merealisasikan kualitas cinta-Mu dalam keseharian hidup kami. Amin.


HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS C/1
Minggu, 16 Juni 2019

Ams 8,22-31
Rm 5,1-5
Yoh 16,12-15

Posting 2016: Susahnya PDKT