Lagi-lagi tuntutan moral umat beriman ditunjukkan lebih dalam atau tinggi: bukan cuma menuruti larangan ‘jangan bersumpah palsu’, melainkan juga mempertimbangkan undangan yang lebih jauh untuk tidak bersumpah. Kenapa ya kira-kira kok bahkan bersumpah saja tidak direkomendasikan?
Mari lihat misalnya proses sidang PHPU (Permintaan kepada Hakim untuk Pemilu Ulang #ehsalah) di MK. Saya sih tidak menontonnya, tetapi saya yakin di sana ada semacam pengambilan sumpah. Jelek-jelek gini saya pernah jadi saksi di pengadilan loh dan saya jadi ngerti betapa bobroknya badan peradilan di negeri ini, sekurang-kurangnya waktu saya jadi saksi itu: duit lebih berkuasa membungkam hati yang tertatih-tatih bersuara. Menariknya, orang yang memakai duit ini ya tetap saja masih berkeluyuran ke tempat ibadat menunjukkan kesalehannya yang luar biasa!
Itulah gambaran hidup yang dijalani orang dengan modal perintah agama belaka. Mohon jangan salah paham, saya tidak mengatakan bahwa perintah agama itu buruk. Sama sekali tidak! Apa salahnya larangan ‘jangan bersumpah palsu’? Tidak ada. Itu sejalan dengan larangan ‘jangan berbohong’. Saya yakin bahwa perintah dan larangan agama itu baik semua, sekurang-kurangnya intensi atau maksudnya. Gak mungkinlah agama memberi perintah membunuh begitu saja, menghalalkan darah sesama tanpa ada konteks hidup yang melatarinya. Bahwa perubahan konteks itu tak dilihat pengikut agama, itu perkara lain lagi, tetapi saya yakin bahwa perintah dan larangan agama mengorientasikan pengikut agama pada kebaikan. Yang saya tunjuk tadi ialah keadaan hidup yang disandarkan pada perintah agama yang tidak diperkaya dengan bekal yang sudah diberikan Allah sendiri kepada manusia: akal, otak, rasio, atau bagaimana pun mau disebut, dan yang utamanya ialah hati.
Kembali lagi ke pertanyaan di awal: mengapa Guru dari Nazareth tidak merekomendasikan sumpah, dan cukuplah orang menjadi autentik terhadap yes-no questions? Apa guru yang satu ini tak mengerti bahwa hidup ini bukan cuma hitam putih?
Entahlah, tetapi saya mulai menangkap bahwa kalau (sekelompok) orang butuh sumpah, itu menunjukkan asumsi, kekhawatiran, tuduhan, ketakutan, bahwa kata-kata orang lain tak bisa dipercaya seutuhnya. “Berani sumpah, suwer, cuma kamu satu-satunya.” Orang menuturkan kata ‘sumpah’ karena mengira orang lain bisa tak percaya pada perkataannya. Ribet kan? Padahal, sebetulnya, saya bilang A, kamu percaya silakan, gak percaya juga silakan.
Nah, justru itulah persoalannya, Rom. Dari mana kita tahu bahwa orang bilang A itu benar-benar memang A?
Ha iya justru itulah poinnya: trust. Risikonya memang pengkhianatan (uraian panjang agak lebar ada pada buku Teologi Seksual, eaaaa), tapi piyé jal orang hidup berkeluarga tanpa trust? Bagaimana mungkin komitmen cinta suami-istri berlangsung tanpa trust? Tanpa trust, jadinya perselingkuhan, lalu terbangun lingkaran setan. Nah, penjamin trust ini bukan sumpah, melainkan autentisitas perkataan orang yang sungguh berasal dari kedalaman hatinya. Kalau orang beriman tak hidup dari autentisitas begini, sumpah itu paljing (ingat, asu=anjing), tak ada gunanya selain jadi bumbu-bumbu hukum, pemilu, sidang gugatan cerai, dan sebagainya.
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami mampu menjadi rendah hati dan senantiasa memercayakan hidup kami pada penyelenggaraan-Mu. Amin.
Sabtu Biasa X C/1
15 Juni 2019
Sabtu Biasa X B/2 2018: Hore Dapat SP3
Sabtu Biasa X A/1 2017: Mari Geleng-geleng
Sabtu Biasa X B/1 2015: Emas Murni Ada. Hati Murni?
Sabtu Biasa X A/2 2014: Pemimpin Yang Bekerja
Categories: Daily Reflection