Ini tidak mesti berhubungan dengan usia Anda: gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Betul gak?Betul, tapi gak cukup. Buktinya, barusan saya bilang betul, tetapi pakai ‘tapi’ juga. Soalnya, la pancia piena sodisfa l’animale, ma all’uomo non basta. Perut penuh memuaskan binatang, tapi itu saja gak memuaskan orang. Cobalah kurang penuh gimana perut koruptor itu; gaji tinggi pun tak akan menghalanginya untuk korupsi; sudah punya lahan cukup pun masih terus cari ribuan hektar untuk tanam ini itu biar cuannya melambung semakin tinggi. Itu mengapa bangsa manusia ini, kalau mau hidup lestari, perlu belajar dari binatang yang modalnya cukup dengan gendang gendut tadi.
Saya hendak membagikan falsafah hidup Jawa yang pernah saya jumpai dalam diri seorang pedagang makanan yang dagangannya suangat luaris (waini jawa timuran buanget sih). Beneran laris sedemikian rupa sehingga pasti ada saja pembeli yang gigit jari karena tidak kebagian makanan yang dijualnya.
Apa pertanyaan spontan yang muncul dari situ? Kalau di kepala saya waktu itu, yang muncul ialah: mbok porsinya ditambah, kan malah nambah penghasilan toh? Akan tetapi, pedagang ini tak pernah menambah porsi jualannya. Pedagang ini tak kenal doa Bapa Kami, tetapi rupanya falsafah hidupnya merealisasikan ayat “Berilah kami rezeki secukupnya pada hari ini” karena mungkin kesusahan hari ini juga cukuplah hari ini.
Saya tidak sedang merujuk pada hidup tanpa perencanaan, tetapi pada sikap hidup dan paradigma yang disodorkan bacaan untuk hari yang dirayakan Gereja Katolik hari ini.
Bacaannya menuturkan bagaimana Guru dari Nazareth itu mengundang para muridnya untuk memberi makan 5000 orang dengan modal lima roti dua ikan! Mukjizat? Anda tidak dilarang untuk mengatakannya begitu, tetapi saya berpesan: hati-hati dengan cara membaca teks Injil seperti itu karena nanti kalau saya sodorkan teks lain yang menyebut angkanya bukan 5000 tetapi 4000 atau 7000 Anda malah akan kebingungan menjawabnya. Belum lagi kalau saya minta Anda membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi: Yesus menyuruh murid-muridnya supaya meminta 5000 orang itu untuk duduk di tanah lapang yang konon sunyi. Gimana dua belas murid itu meminta 5000 orang bikin seratus grup. Celakanya, setelah saya lihat teks, kata kerja ‘duduk’ yang dipakai dalam teks hari ini tidak bisa dimengerti sebagai jongkok, duduk bersila, atau duduk mendekap kaki, apalagi duduk di kursi.
Kata kerja yang dipakai di situ adalah kata kerja duduk yang dipakai Yesus dan para muridnya mengadakan perjamuan; ini sudah saya bahas di posting2 sebelumnya: berbaring miring untuk pesta, dan ini adalah posisi orang merdeka. Para budak tidak bisa mengambil posisi ‘duduk’ seperti ini. Dengan begitu, undangan untuk duduk itu jadi undangan supaya orang menempatkan dirinya sebagai orang merdeka di hadapan Allah, bukan sebagai orang (bermental) budak.
Ironisnya, para murid itu diperbudak oleh paradigma material ekonomis: mbok wis 5000 orang ini disuruh pulang saja, biar cari makan sendiri (dan dengan begitu bakal rebutan cari makan). Ketika mereka diminta untuk memberi makan, reaksi spontannya sama, dengan paradigma material ekonomis tadi: lha piye jal wong adanya cuma lima roti dua ikan!
Yesus menunjukkan tubuh yang ‘immaterial’: dhak kasih tau ya; ambil saja yang kita punya, mohon berkat atas yang kita punya itu, supaya kita bisa membagikannya pada orang banyak.
So, kalau mikir angka 5000 malah runyam, kan? Kerajaan Allah itu bukan perkara angka, bukan perkara banyak-banyakan anggota agama ini itu, melainkan soal sikap hidup yang senantiasa mohon berkat dan hidup dalam semangat tiji tibeh (mati siji mati kabeh, mati satu mati semua): jangan sampai ada seorang pun yang yang tidak kebagian!
Nah, berarti yang Romo ceritakan soal pedagang berfalsafah Jawa tadi membiarkan ada orang yang gak kebagian dong!
Lhaaaaa…. kalau Anda berpikir begitu, Anda persis seperti murid-murid Yesus tadi yang memakai paradigma material ekonomis, wkwkwkwkwkwk…..
Bukankah dengan falsafah rezeki secukupnya tadi, pedagang itu memberi kesempatan supaya orang yang tidak kebagian yang material ekonomis tadi membeli makan dari pedagang lain atau mungkin malah orang yang gak kebagian tadi jadi sadar bahwa hidup bahagia atau kekal itu bukan cuma hidup dari roti atau nasi [tapi juga lontong, sayur, brongkos, keju, pizza, dll wkwkwkwk]?
Akhirnya, Tubuh dan Darah Kristus yang dirayakan Gereja Katolik ini bukan perkara meributkan dogmanya, melainkan perkara bikin hidup orang relate [wuih apaan tuh] dengan kenyataan yang mengatasi material ekonomis tadi. Sik3, mengatasi itu bukan artinya supranatural2an, melainkan yang diajarkan Yesus tadi: yang ada ini, apa pun dan seberapa pun, dipakai dengan spirit supaya jadi berkat, bukan mudarat.
Tuhan, satukanlah hidup kami dengan hidup-Mu. Amin.
HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS C/2
19 Juni 2022
Kej 14,18-20
1Kor 11,23-26
Luk 9,11b-17
Posting 2019: Agama Keledai
Posting 2016: Broken Bread
Categories: Daily Reflection