Saya tidak yakin apakah masa SMA Anda adalah masa yang indah lucu banyak cerita. Kalau begitu adanya, syukurlah, mungkin Anda ini teman Paramitha Rusady [what3, pelajaran sejarah kelas berapa ini?], dan nostalgia Anda itu bisa jadi menyenangkan. Coba bayangkan lirik lagu Paramitha itu: Ada yang saling cinta, bermesra di sekolah, slalu berdua, berjalan di sela-sela rumput [seberapa besarnya ya itu rumputnya?] sekolah kita; Oh indahnya.
Itu agak ironis sih, karena nostalgia sebetulnya malah sesuatu yang tidak menyenangkan. Kata nostalgia berasal dari dua kata Yunani: nostos (pulang ke rumah) dan algos (derita, kepedihan, sakit). Piye jal, pulang ke rumah dengan pedih?🤔 Tentu, masing-masing dari Anda punya nostalgia tertentu. Saya misalnya, tidak suka suasana Natal karena cerita-cerita sedih yang dulu saya dengar pada masa itu. Ini bukan sekadar memori bin ingatan. Nostalgia itu menyentuh eksistensi orang: ya pikirannya, ingatannya, sensasi tubuhnya, moodnya, dan seterusnya.
Akan tetapi, Anda juga tentu tahu nostalgia suram itu bisa jadi racun atau ransoun alias ransum. Kita mengertinya sebagai makanan, tetapi kalau ditelusuri secara teologis, itu sepadan dengan pertobatan atau penebusan (dosa). Nostalgia menjadi racun begitu dia mengikat saya pada ketidaksukaan pada suasana Natal yang menggerus mood saya. Nostalgia menjadi ransum bagi produser film yang bikin sekuel Home Alone (haiyalah…wong jadi cuan😅).
Teks-teks bacaan hari ini saya kira bisa dimengerti dengan bingkai nostalgia ini karena terhubung juga dengan masa lalu. Tentu lebay juga ini Yesus melarang calon muridnya pamitan. Di teks bacaan pertama, Elia mengizinkan Elisa berpamitan sebelum mengikutinya. Lebay jugalah Yesus ini secara negatif menanggapi permohonan izin untuk menguburkan orang tua dengan kalimat “Biarlah orang mati menguburkan orang mati.” Piye jal?
Persoalannya pasti bukan perkara pamitan dan kuburan!
Dua hal itu merujuk pada tradisi yang sangat kuat melekat pada hidup Yesus sebagai orang Yahudi. Yesus tahu benar bahwa itu bukan perkara sepele. Akan tetapi, di situlah Yesus mau mengajak calon muridnya: jangan biarkan tradisi kuat itu jadi racun, melainkan buatlah supaya itu jadi ransum. Indikasi petunyuk ini ada pada teks bacaan kedua: hiduplah oleh roh, maka kamu tidak akan keracunan! Roh inilah yang memungkinkan orang belajar dari tradisi untuk membangun visi ke depan. Hari ini orang belajar dari hari kemarin untuk menata hari depan.
Nah, di medsos belakangan ini muncul lagi video masa lalu tentang pilkada gabener, yang teracuni oleh pemahaman agama yang picik. Saya kira ini contoh nostalgia, yang bakal jadi racun jika ditelan dengan nasihat politis forgive and forget. Forgive ya forgive aja, tapi tak perlu dibumbui forget. Semoga video-video seperti itu jadi ransum untuk belajar dari masa lalu dan tak perlulah terpaku pada polarisasi kecebong dan kampret, karena masih ada cethul dan codhot!
Minggu lalu dua kolega saya ditembak mati karena melindungi orang yang masuk ke area pelayanannya. Beberapa tahun lalu satu kolega dibunuh di Timur Tengah. Beberapa dekade lalu lebih banyak lagi yang dibunuh di El Salvador. Ini juga adalah nostalgia: begitulah mengikuti jalan Tuhan, mesti ada harganya. Yesus ini tampaknya hendak menegaskan supaya pengikutnya tak galau dalam tegangan tradisi dan visi ke depan akibat nostalgia yang jadi racun: kelekatan yang tak tertata, yang semakin mempersempit wawasan. Beliau mengajak pengikutnya untuk fokus, tidak mendua, semuanya perlu ditata supaya puzzle kehidupan itu jadi gambar indah yang bisa jadi ransum untuk maju selama hayat dikandung badan.
Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk menekuni nostalgia bahwa Engkau berkenan menanggung kerapuhan manusia dan rahmat kekuatan untuk mengatasi kerapuhan itu. Amin.
MINGGU BIASA XIII C/2
26 Juni 2022
1Raj 19,16b.19-21
Gal 5,1.13-18
Luk 9,51-62
Posting 2019: Justru Karena Berat
Posting 2016: Mau Tunggu sampai Kapan?
Categories: Daily Reflection