Saya tak ingat lagi apakah kisah kasih di SMA ini pernah saya bagikan di blog ini, di buku, atau di mana gitu, pokoknya pernah. Ceritanya saya kerja di suatu SMA yang muridnya dari kelas satu sampai kelas tiga cowok semua. Sampai-sampai kalau saya bosan di sekolah itu saya bertandang ke sekolah lain yang isinya cewek semua #ehkalo’inisayabo’onggakapapenitensinyatigakalisalammaria.
Tugas saya itu di bagian pembentukan karakter siswa dan salah satunya setiap pagi menjelang jam pertama, saya berjaga di kantor dan semua siswa yang datang terlambat pasti mampir ke kantor saya untuk dipindai wajahnya dan saya masukkan hasilnya ke database kesiswaan. Pada umumnya mereka yang terlambat saya minta menyapu halaman, membantu pemeliharaan gudang buku, merangkum bacaan tertentu, atau membersihkan toilet.
Nah, pada suatu hari, seorang siswa terlambat hampir setengah jam dan tahu-tahu lewat di depan kantor saya sudah dengan menenteng sapu.
“Loh, mau ke mana, Mas?”
“Saya terlambat, Pak.” [Btw, waktu itu saya belum bapak-bapak, masih ibu-ibu.]
“Lha iya kuwi mbahku ya ngerti, tapi yang suruh kamu nyapu siapa?”
Anak itu sepertinya paham arah kalimat saya, lalu dia mengembalikan sapu ke gudang. Tak berapa lama kemudian saya lihat dia membawa ember dan sikat.
“Loh loh loh, mau ke mana toh?”
“Mau kosèk WC, Pak. Kan saya terlambat.” [Anak itu belum tahu bahwa kosek itu jodohnya sambal]
“Lha iya betul, tapi yang minta kamu ngosèk WC siapa?”
“Trus ngapain dong, Pak?”
“Kamu masuk kelas aja,” kata saya, menahan tawa. Anak itu spontan menjawab,”Loh ini sudah setengah jam, Pak. Pasti gak boleh masuk Bu Tetot.”
Masih sukses menahan tawa, saya menulis surat pengantar untuk masuk kelas.
“Loh, kan ada surat dari saya.”
Saya berikan surat pengantarnya dan raut wajah anak itu seperti tak rela. Apa boleh buat, saya punya otoritas.
Belakangan saya mendapat konfirmasi bahwa siswa tersebut memang tidak suka pelajaran kimia (makanya ia datang terlambat tak tanggung-tanggung setengah jam), dan tepatlah hukuman yang saya berikan padanya.😂😂😂
Panggilan hidup beriman (dalam teks bacaan ketiga hari ini digambarkan sebagai perihal mengikuti Kristus) memang tak dapat ditanggapi dengan cara mudah atau menunda-nunda seperti Elisa minta waktu sebelum mengikuti Elia. Panggilan datang dan butuh tanggapan on the spot.
Sebenarnya siswa tadi mengerti juga prinsip itu: dia tahu bahwa hukuman menyapu halaman itu lebih enteng daripada ngosèk WC. Maka, dia berpikir bahwa hukuman yang ingin saya berikan untuk keterlambatannya itu lebih berat daripada sekadar menyapu halaman.
Sayangnya, perspektif siswa itu belum mempertimbangkan teks bacaan kedua hari ini. Ia melihat berat-ringan, susah-mudahnya dari ukuran kedagingan semata, dengan ukuran biologis. Ia lupa bahwa selain perspektif fungsi biologis itu masih ada perspektif mental juga: lebih berat menghadapi pelajaran kimia yang tidak disukainya.
Bisa jadi, cara kerja hidup beriman juga begitu. Jangan-jangan tindakan iman justru terletak pada pilihan-pilihan sulit, bukan hanya secara fisik merepotkan, melainkan juga secara mental menyangkal kepentingan egois orang, bahkan termasuk kepentingan sempit agama!
Tindakan iman tidak mungkin dilandasi pedoman ‘asal tidak susah’, tetapi bisa jadi tidak cukup juga patokan ‘meskipun susah’. Orang beriman tetap gembira mengambil pilihan ‘justru karena susah’ (dalam perspektif Kristiani: jalan salib, askese atau zuhud).
Mungkin memang begitu. Justru dalam pilihan dan konsekuensi yang beratlah orang berpeluang menunjukkan kelasnya sebagai orang beriman, sebagai orang yang berziarah dalam jalur yang benar (sejauh bukan modus kepentingan egois).
Ya Allah, mohon rahmat keberanian dan kekuatan untuk setia dalam panggilan-Mu. Amin.
MINGGU BIASA XIII C/1
30 Juni 2019
1Raj 19,16b.19-21
Gal 5,1.13-18
Luk 9,51-62
Posting 2016: Mau Tunggu sampai Kapan?
Categories: Daily Reflection