Iman Sekular?

Mungkin orang beriman itu gak banyak tanya, tapi banyak menjawab pertanyaan dan jawabannya bukan dari utak-atik-otaknya sendiri.
Itu yang juga saya dapati ketika saya membaca teks bacaan hari ini. Ceritanya Guru dari Nazareth itu mengadakan jajak pendapat mengenai apa yang dikatakan banyak orang mengenai dirinya. Hasil jajak pendapat itu disodorkan oleh para muridnya dan setelah memperoleh hasilnya, dia melontarkan pertanyaan kepada para muridnya soal menurut mereka sendiri siapakah guru mereka itu dengan kata hubung ‘tetapi’.

Kata hubung ‘tetapi’ itu tentu mengasumsikan suatu transisi, kalau bukan kontras. Artinya, Guru dari Nazareth itu mengharapkan ada perbedaan antara kata orang dan kata murid-muridnya. Memang betul. Orang-orang memadankannya dengan nabi-nabi besar pendahulu mereka, karena tentu saja mereka melihat dari kejauhan, menengarai sepak terjang yang mirip dengan perbuatan-perbuatan para nabi.
Sedangkan ketika tiba waktunya mereka harus menjawab pertanyaan Guru dari Nazareth itu, Petrus menyodorkan jawaban berbeda: kamu itu Mesias.

Dari mana datangnya jawaban itu? Kalau menurut teks: itu bukan dari cara pandang biologis Petrus, melainkan dari Allah di surga.
Tapi apakah artinya Allah di surga pada detik itu membuat Petrus kesurupan dan sembari gemetar menjawab pertanyaan Guru dari Nazareth? Rupanya tidak begitu. Biasa aja jawabnya. Kan kemarin sudah dibahas hati Pancasila itu ya yang memungkinkan orang memahami secara tepat. Kalau orang tak menangkap roh Pancasila, orang tak bisa menafsirkan Pancasila secara benar juga.

Petrus menangkap roh dari sosok pribadi yang menanyainya, dan roh itulah yang memungkinkan dia menjawab pertanyaan Guru dari Nazareth. Roh ini bukan soal supranatural yang bisa dimanfaatkan orang untuk bermain-main dengan kekuatan gelap, melainkan soal natural yang mengantarkan orang memahami apa yang ada di balik fungsi biologis: di balik mukjizat, di balik ajaran, di balik doa, dibalik tumpah [emangnya bakso kuah]. Roh ini juga bekerja menuntun orang beriman mengenali kerinduan terdalam hidupnya, yang bahkan melampaui keinginan untuk menemui nabi.

Begitulah iman: membiarkan diri ditanyai Tuhan dan menjawabnya seturut roh yang menuntun pemahaman. Iman mengantar orang pada kedalaman cinta, dan itulah yang dialami Petrus sehingga ia menjawab dengan tepat: bangsa manusia membutuhkan sosok yang, lebih dari nabi, memerdekakan, membebaskan, dan menyelamatkan manusia dari kehancuran hidup. Kedalaman hidup macam ini tidak berhenti dalam sekat kultur mana pun. Kedalaman cinta melampaui batas, dan itulah yang dilakukan Paulus: keluar dari kultur Yahudi dan Romawi. Itu mengindikasikan bahwa kedalaman cinta menarik banyak orang, lintas budaya, lintas agama, lintas negara.

Tak sedikit orang dari negara-negara sekular mesti keluar dari negaranya untuk mendapatkan kedalaman iman, bukan karena di negara-negara sekular itu tak ada ruang kedalaman iman, melainkan karena orangnya sendiri tak terlatih untuk menangkap roh; tak berani membiarkan diri ditanyai dan masuk sampai kedalaman hidupnya sendiri: menurutmu, siapakah Aku?

Pertanyaan itu tak mungkin terjawab oleh mereka yang menghidupi pernyataan,”Tuhan? Gak ada urusan!” dalam hidup mereka.
Tuhan, semoga hidup kami sesuai dengan kedalaman dan keluasan cinta yang diteladankan Petrus dan Paulus
. Amin.


HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS
(Sabtu Biasa XII C/1)
29 Juni 2019

Kis 12,1-11
2Tim 4,6-8.17-18
Mat 16, 13-19

Posting 2018: Tukar Label
Posting 2017: Met Ultah Pak Ahok

Posting 2016: Mari Berbuka
 
Posting 2015: Ada Baiknya Bertengkar

Posting 2014: What You Choose Is What You Get